Opini
Kamis 12 Juni 2025 | 20:50 WIB
Laporan: Khotib
Pelecehan Seksual Di Transportasi Umum Menjadi Ancaman Nyata Terhadap Keamanan Perempuan Di Ruang Publik

Pelecehan seksual terhadap perempuan di transportasi umum bukanlah isu baru, namun masih menjadi kenyataan pahit yang terus berulang dari waktu ke waktu. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar, banyak perempuan mengalami kecemasan setiap kali harus menggunakan sarana transportasi publik seperti KRL, bus, atau angkot. Dalam kondisi ideal, transportasi umum seharusnya menjadi sarana yang aman, terjangkau, dan nyaman. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak perempuan justru merasa rentan dan tidak terlindungi.
Komnas Perempuan mencatat bahwa lebih dari 60% perempuan di Jabodetabek pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Data ini diperkirakan hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi, karena masih banyak korban yang memilih diam. Bentuk pelecehan ini tidak hanya berupa komentar tidak senonoh atau siulan, tetapi juga menyentuh tubuh tanpa izin, meraba, hingga tindakan fisik yang jauh lebih serius. Ironisnya, sebagian besar pelaku tidak mendapatkan sanksi apa pun, bahkan sering kali tidak direspons oleh aparat keamanan maupun masyarakat sekitar.
Hal ini menandakan adanya krisis perlindungan terhadap hak-hak dasar perempuan untuk merasa aman di ruang publik. Ruang yang seharusnya netral dan inklusif justru menjadi arena pelanggaran martabat dan integritas tubuh perempuan.
Maraknya pelecehan di transportasi umum tidak dapat dilepaskan dari kombinasi faktor sistemik dan kultural. Pertama, minimnya sistem keamanan dalam transportasi publik menjadi salah satu penyebab utama. Banyak kendaraan umum yang tidak dilengkapi CCTV, dan petugas keamanan yang tersedia sering kali tidak memiliki pelatihan khusus menangani kasus pelecehan.
Kedua, budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat turut memperburuk situasi. Korban masih sering disalahkan karena cara berpakaian atau dianggap berlebihan ketika melaporkan kejadian. Dalam banyak kasus, perempuan yang melapor justru mendapat stigma atau dianggap menyulitkan.
Ketiga, kurangnya literasi gender dan edukasi seksual sejak dini membuat masyarakat gagal membedakan interaksi biasa dengan tindakan yang melanggar batas personal orang lain. Banyak orang masih menganggap komentar seksual sebagai hal “lucu” atau “wajar”, padahal itu merupakan bentuk kekerasan verbal.
Pelecehan seksual bukan hanya meninggalkan luka secara fisik, tetapi juga berdampak besar terhadap psikologis korban. Rasa trauma, ketakutan, bahkan gangguan kecemasan menjadi hal yang kerap dialami. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan kualitas hidup dan membatasi mobilitas perempuan.
Tidak jarang korban akhirnya memilih untuk tidak lagi menggunakan transportasi umum dan beralih ke moda transportasi pribadi yang lebih mahal. Ini menunjukkan bahwa pelecehan juga memiliki dampak ekonomi, terutama bagi perempuan dari kalangan menengah ke bawah yang bergantung penuh pada transportasi publik.
- Dalam hal ini, tentu harusnya ada cara untuk mengatasi masalah ini yang tentu membutuhkan beberapa cara atau metode pendekatan multilevel dan kolaboratif seperti:
- Peningkatan sistem keamanan oleh pemerintah dan operator transportasi, seperti pemasangan CCTV, gerbong khusus perempuan, serta pelatihan petugas yang responsif dan tanggap gender.
- Penyederhanaan mekanisme pelaporan pelecehan seksual, termasuk adanya hotline khusus dan perlindungan bagi korban.
- Kampanye kesadaran publik secara masif di media sosial, media massa, sekolah, dan komunitas untuk menghentikan budaya menyalahkan korban serta mendorong keberanian untuk melapor.
- Reformasi kebijakan yang mempertegas perlindungan hukum, termasuk penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara lebih maksimal di ruang publik.
- Edukasi seksual dan gender sejak dini di sekolah-sekolah untuk menanamkan pentingnya menghargai batas personal dan memahami konsep persetujuan (consent).
Sudah saatnya kita mengubah ruang publik, termasuk transportasi umum, menjadi tempat yang benar-benar aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual. Ini bukan semata tugas perempuan, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa – mulai dari negara, masyarakat, hingga individu – untuk menghentikan kekerasan dan membela kemanusiaan.
By:Siti lusinta, Mahasiswi Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika
Comment