Opini

Rabu 13 September 2017 | 15:04 WIB

Laporan: Desvian Bandarsyah

KPK dan Kolektifitas Nalar Keindonesiaan Kita

Sumber Foto Pribadi

Entah apa yang menjadi dasar bagi mereka yang berpikir bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dibekukan dan bahkan dibubarkan. Pikiran semacam itu bukan hanya menjadi tidak relevan, bahkan berbahaya bagi upaya melawan korupsi yang sarat di republik ini. 

Republik ini masih mencatatkan dirinya sebagai salah satu negara dengan tingkat dan rekor korupsi terbesar di dunia. Di masa lalu angka korupsi terhadap APBN dalam penyelenggaraan negara sangat fantastis, sekitar 30 %. Itu data yang diungkap oleh bengawan ekonomi Indonesia, Prof. Sumitro Djoyohadikusumo. Angka sebesar itu luar biasa dan terjadi berulang dan berkelanjutan dalam sejarah rejim Ideologi Pembangunan Indonesia. Itu yang mengakibatkan kemiskinan absolut dialami oleh masyarakat bawah di Indonesia sebesar 30% sampai dengan 40 % dari jumlah penduduk Indonesia. Yang menggerus kekayaan negara Indonesia secara berkelanjutan. Juga berhasil membuat generasi Indonesia masa depan secara signifikan kehilangan masa depan akibat kemiskinan yang ditanggung mereka.

Dari sisi lain, korupsi dengam segala varian curang yang dikembangkan oleh para pelaku dan jaringan politik yang mereka miliki di dalam tubuh partai, pemerintahan, dan berbagai institusi sosial dan ekonomi, juga telah meluluhlantakkan mentalitas bangsa dan rasa malu secara mendasar dan dalam. Bangsa kehilangan kolektifitas malu dan kepekaan dalam menilai dan bersikap sinis terhadap perilaku curang yang satu ini. Secara kolektif dan massal resistensi terhadap perilaku koruptif semakin permisif. Padahal senyatanya itu adalah perilaku yang nista dan merendahkan harkat manusia dan kemanusiaan.

Maka menjadi aneh dan menyebalkan, ketika pikiran jahil dan usil terhadap kinerja dan keberadaan KPK terus disuarakan partai politik dan beberapa gelintir suara fokal di Dewan Perwakilan Rakyat kita akhir akhir ini. Suara itu semakin kencang dan kurang ajar, serta tidak beretika dalam menuntut pembubaran, pembekuan dan pelemahan KPK. 

Tuntutan dan niat pembubaran, pembekuan serta pelemahan KPK menjadi perilaku paling horor dan kasar dalam upaya menghambat keinginan bangsa ini menegakkan dan menjalan hukum untuk memberantas korupsi dan koruptor. 

Langkah berani KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa oknum pejabat eksekutif, yudikatif, dan legislatif serta upaya untuk menyelidiki kasus kasus korupsi yang besar telah disikapi dan direspon secara "panik" oleh beberapa kalangan politisi di DPR dan partai politik. Dikarenakan kepentingan dan ketenangan dirinya dan kelompoknya merasa terganggu. 

Tudingan bahwa KPK tebang pilih, melakukan kriminalisasi, serta menjalankan praktek yang menyimpang dan menyesatkan penegakkan hukum, bukan tidak memiliki ruang untuk diyakini kebenarannya. Tetapi tuduhan itu muncul dalam kondisi yang bersamaan dengan resiko hukum yang dihadapi oleh pihak pihak disebutkan di atas, telah menutup ruang bagi tafsir dan kebenaran yang berupaya menempatkan KPK sebagai pesakitan. Bahwa beberapa anggota DPR dengan hak Angketnya dibaca oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk mencegah lebih dalam turbelence kasus e KTP. Sehingga nampak jelas berbagai ide dan langkah pengusul hak angket menjadi liar dan dipertanyakan sekurangnya oleh Prof. Mahfud MD, angket menjadi seperti angkot.

Bahwa perilaku koruptif dibanyak instansi negara dan korporasi telah menimbulkan masalah serius dalam kehidupan bangsa. Jika kita sepakati bahwa masalah bangsa sesungguhnya adalah korupsi yang sudah melampaui batas toleransi, maka pilihan memerangi korupsi tidak mendasarkan pada kepentingan yang akomodatif terhadap kelompok dengan alasan apapun.

KPK memang bukan tanpa masalah. Ia bukan malaikat yang tidak bernoda. Tetapi penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi dengan menihilkan peran KPK akan menjadi langkah kontraproduktif bagi kepentingan bangsa ini dan generasi emas Indonesia yang sudah di depan mata. Ini didasarkan pada belum mampunya instansi penegak hukum lainnya memperlihatkan kinerja positif di tengah tingginya perilaku korupsi penyelenggara negara di Indonesia. 

Maka segenap anak bangsa perlu dan mendesak untuk memberikan dukungan bagi kinerja KPK secara positif. Nalar kebangsaan yang dimiliki secara kolektif oleh anak bangsa ini dalam upaya pemberantasan korupsi akan memberikan kekuatan bagi KPK dalam melakukan tindakkan dan pemberantasan perilaku koruptif. 

Kolektivitas nalar keindonesiaan kita hati ini yang dikemas ke dalam komitmen pemberantasan korupsi dapat menjadi jaminan bagi masa depan bangsa dan generasi emas Indonesia. Itu juga akan memberikan insentif bagi daya saing Indonesia yang semakin kuat dalam konteks pertubuhan ekonomi, serta meningkatkan martabat bangsa dalam pergaulan internasional di kalangan bangsa bangsa maju lainnya. 

Maka berhentilah berapologia atas nama ketidakadilan dan penegakkan hukum yang tidak adil. Sesungguhnya ketidakadilan yang sejati adalah perilaku koruptif yang dilakukan oleh oknum penyelenggara negara dan jaringan kepentingannya yang telah menyengsarakan bangsa Indonesia dan segenap rakyat.

Mari mengembangkan nalar keindonesiaan kita dengan memberikan dukungan bagi KPK untuk melawan koruptor dan perilaku koruptif yang sudah mendarah dan mendaging dalam pikiran perasaa  dan tindakan para oknum penyelenggara negara di Indonesia. ***

*Penuis adalah Dekan FKIP UHAMKA

TAG BERITA

Comment