Opini
Minggu 08 Juni 2025 | 23:00 WIB
Laporan: Khotib
Negara Tidak Boleh Kalah oleh Ormas.

Peristiwa pembongkaran posko organisasi masyarakat (ormas) GRIB Jaya di atas lahan milik BMKG di Pondok Betung, Tangerang Selatan, menjadi sorotan publik. Bukan sekadar soal penggusuran fisik bangunan, namun ini adalah pembuktian bahwa negara masih memiliki otoritas atas tanah, hukum, dan ketertiban sosial.
Membongkar Arogansi Ormas Berkedok Rakyat
Ormas GRIB Jaya mengklaim bahwa lahan BMKG adalah milik “ahli waris” dan mendirikan posko di lokasi itu. Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan posko tersebut justru melahirkan ketakutan di tengah masyarakat. Pungutan liar terhadap pedagang kaki lima, pengendalian wilayah secara sepihak, hingga praktik-praktik intimidatif mulai mencuat ke permukaan. Negara pun akhirnya bertindak: posko dibongkar, belasan orang ditangkap.
Ini bukan pertama kalinya ormas bertindak di luar batas. Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan fenomena "premanisme berjubah ormas",kelompok-kelompok yang mengatasnamakan rakyat, nasionalisme, atau agama untuk menjalankan kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri. Mereka membentuk posko, menguasai jalanan, menekan pelaku usaha, bahkan menyusup ke institusi pemerintahan dengan dalih kemitraan sosial.
Pertanyaannya: sampai kapan negara membiarkan kekuatan non-negara menciptakan rasa takut di tengah masyarakat?
Negara Harus Tegas: Penegakan Hukum Bukan Tindakan Represif, Tapi Tanggung Jawab Konstitusional
Langkah tegas yang diambil oleh BMKG, Satpol PP, dan aparat kepolisian patut diapresiasi. Ini adalah bukti bahwa aparat negara masih memiliki keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tidak ada kelompok yang berada di atas hukum, termasuk ormas sekalipun.
Namun, tindakan pembongkaran ini juga harus menjadi pintu masuk bagi evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan pengawasan ormas. Perlu ada audit nasional terhadap aktivitas ormas-ormas yang beroperasi di berbagai wilayah, terutama yang kerap menimbulkan gesekan sosial atau menjalankan kegiatan ekonomi liar.
Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jika masyarakat kecil bisa diusir ketika menduduki trotoar atau taman kota, maka ormas yang menduduki lahan negara juga harus diperlakukan setara, bahkan lebih tegas, karena memiliki potensi ancaman terhadap stabilitas nasional.
Ormas: Mitra Perubahan atau Alat Kepentingan?
Peran ormas sejatinya adalah sebagai mitra masyarakat dan pemerintah. Mereka bisa menjadi wadah aspirasi, kontrol sosial, dan pelaksana kegiatan sosial yang tidak bisa ditangani langsung oleh negara. Namun ketika ormas bertransformasi menjadi alat kekuasaan informal, kita sedang berada di jalur yang salah.
Sayangnya, banyak ormas kini justru menjadi alat politik baik sebagai kendaraan kepentingan oknum elit lokal maupun sebagai "organisasi bayangan" yang bekerja di bawah radar hukum. Pendirian posko, penguasaan aset, dan kekuatan mobilisasi massa menjadikan ormas rawan dipolitisasi atau dijadikan alat tekanan dalam kontestasi politik, terutama menjelang Pilkada dan Pemilu.
Inilah yang membuat banyak pihak ragu: apakah semua ormas masih relevan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, atau sudah berubah menjadi “franchise kekuasaan”?
Peran Masyarakat: Mengawasi, Bukan Diam
Publik tidak boleh diam. Masyarakat harus aktif melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh ormas atau kelompok mana pun yang menggunakan cara-cara kekerasan atau tekanan untuk menguasai ruang publik dan aset negara. Demokrasi bukan berarti membiarkan semua pihak berbuat semaunya. Ada garis batas antara kebebasan berekspresi dan perusakan tatanan hukum.
Kasus GRIB Jaya harus menjadi pembelajaran kolektif bahwa kita tidak boleh menganggap enteng pendudukan ilegal. Jika dibiarkan, hal ini dapat menciptakan preseden berbahaya di masa depan—di mana kekuatan massa bisa menundukkan hukum, dan negara kehilangan kendali atas aset strategisnya.
Negara Harus Menjawab Tantangan
Pembongkaran posko GRIB Jaya hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah menciptakan sistem yang mampu mencegah kasus serupa terulang. Negara tidak boleh hanya hadir ketika tekanan publik sudah tinggi atau ketika viral di media sosial.
Diperlukan konsolidasi antar-lembaga: dari Kementerian Dalam Negeri, Polri, hingga BPK dan BPN untuk mengamankan seluruh aset negara dari upaya penguasaan ilegal. Tanah negara bukan milik kelompok manapun, dan hukum harus ditegakkan demi keadilan bagi semua.
Lebih dari itu, masyarakat butuh jaminan bahwa tidak ada lagi ormas sekecil apa pun yang bisa berdiri di atas hukum, menindas warga kecil, dan bertindak sewenang-wenang.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
By; Siprianus Teos Kause Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika
Comment