Opini
Rabu 21 Nopember 2018 | 14:03 WIB
Laporan: Dicky Chandra
Dysfunctional Mindset
“Untuk mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik dengan gaji yang besar, pak”; “Untuk mendapatkan gelar sarjana supaya lebih bergengsi (prestigious), pak”; “Untuk mudah mendapatkan jodoh, pak”. Adalah tiga alasan yang paling sering muncul disaat penulis mengajukan pertanyaan “apa yang menjadi motivasi saudara untuk memilih dan melanjutkan pendidikan ke jenjang Peguruan Tinggi ini?” kepada para mahasiswa.
Semenjak penulis meluruskan niat untuk mengabdi menjadi seorang dosen, pertanyaan tersebut di atas selalu penulis tanyakan kepada semua para mahasiswa yang berada di dalam kelas, para mahasiwa yang berada di lingkungan kampus (universitas), maupun para mahasiswa-mahasiswa yang penulis jumpai di berbagai tempat dan kesempatan. Alhasil, tetap saja ketiga jawaban tersebut di atas mendominasi motivasi (alasan) para calon generasi bangsa ini.
Lalu, bagaimana dengan kualitas sumber daya manusia mereka atau potensi dari berkah akal dan pikiran yang di anugerahkan Allah SWT kepada mereka? Kemudian, sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami dan menyerap semua materi perkuliahan? Serta bagaimana pula proses interaksi mereka pada saat transformasi belajar dan mengajar berlangsung di dalam maupun di luar kelas?
Pertanyaan bersifat eksploratif tersebut di atas yang dilemparkan kepada para mahasiswa yang penulis jumpai sesuai dengan concern keilmuan masing-masing mahasiswa, tentu saja guna menjawab penasaran penulis terhadap pertanyaan di atas.
Surprise, sontak terdiam bercampur sedih dan geram merupakan bentuk ekspresi yang bisa penulis lukiskan saat itu. Bagaimana tidak, rata-rata para mahasiswa fakultas ekonomi bingung dan malahan ada yang lupa dan tidak tahu disaat ditanyakan kepadanya “apa itu ilmu ekonomi?” begitu juga halnya terhadap concern ilmu yang lain. Apa itu manajemen? Apa itu akuntansi? Apa itu psikologi? Apa itu teknik mesin? Apa itu teknik elektro? Apa itu teknik kimia? Dan untuk apa kalian mempelajari keilmuan tersebut? Serta apa manfaatnya?
Rata-rata 80% lebih para mahasiswa ini yang notabene sebagai generasi penerus negeri ini “ngeles” alias berapologi dengan satu kata “lupa” pak, itu waktu saya semester sekian pelajaran/mata kuliahnya pak, mereka menambahkan.
Ironi memang, di saat zaman “serba on-line” saat sekarang di mana kemudahan akses dalam memperoleh berbagai macam bentuk informasi dan referensi merupakan sebuah konsekuensi positifnya, akan tetapi, belum bisa mereka manfaatkan dengan baik dan optimal. Seharusnya, kemudahan-kemudahan tersebut bisa menjadi “perfect complementer” bagi mereka dalam membangun iklim akademis yang sarat dengan nuansa competence, skill, knowledge, dan attitude yang bermuara kepada competitive core yang sehat dan konstruktif tentunya, sehingga tidak ada lagi “potensi-potensi sumber daya manusia yang terabaikan”.
Tapi itulah realitas yang sedang dibentangkan dan dihadapkan kepada kita semua para masyarakat akademisi dan intelektual. Sekarang pertanyaanya “what next?” apakah kita, khususnya para dosen-dosen mereka sebagai “aktor utama”yang berinteraksi langsung dengan mereka dalam mentransformasikan semua keilmuan dan pendidikan; yang bertanggung jawab memberikan semua pemahaman dan menghantarkan serta mendudukkan keilmuan tersebut kepada mereka; bertanggung jawab untuk membuka cakrawala berpikir mereka; yang bertanggung jawab dalam mengembangkan wawasan berpikir mereka; serta yang bertanggung jawab dalam pembentukan karakter akademisi yang kompeten dan berintegritas, akan membiarkan dan/atau malah membenarkan mereka para mahasiswa dengan “dysfunctional mindset”-nya, seperti yang tergambarkan dengan jawaban-jawaban mereka di awal tulisan ini tadi.
Setelah penulis renungkan kembali, ternyata, kita-pun sebagai dosen mereka juga berada pada kondisi dysfunctional mindsetyang sama dengan para mahasiswa-mahasiswa yang kita ajar dan kita didik. Penulis melihat bahwa efektifitas pembelajaran dan motivasi belajar merupakan domain utama yang menyebabkan dysfunctional mindset ini bisa terjadi, baik dari sisi para mahasiswa maupun dari sisi para dosen.
Dalam hal efektifitas pembelajaran, dosen dapat dikatakan belum berhasil memberikan efek (manfaat) yang bisa langsung diserap oleh para mahasiswa, baik itu dari penguasaan materi maupun pemahamannya. Hal tersbut terbukti bahwa mayoritas mereka hanya menjadi “penghafal yang baik” dari semua materi kuliah dan keilmuan yang diberikan, hasil hafalan tersebut mereka gunakan dominan hanya pada dua tentative waktu, “kuis/tes” dan pada saat “ujian”. Di luar kondisi tersebut, seiring berjalannya waktu mereka-pun melupakannya karena tidak membawa penguasaan, pengertian serta pemahaman dari materi yang sudah mereka hafalkan tadi (substansi ilmu). Hal itulah yang disebut dengan “tidak ada efeknya”. Karena, jika mereka menguasai, mengerti, dan memahaminya tentu keilmuan (materi) tersebut menyatu ke dalam mindset mereka dan tersistematis menjadi sebuah sequence of thinking.
Kausalitas sedang terjadi dalam hal ini, ketidak efektifan dosen dalam melakukan proses transformasi keilmuan dan pemahaman menjadi penyebab terhadap ketidak efektifan para mahasiswa tersbut dalam menyerap (penguasaan, pengertian, dan pemahaman) semua materi atau keilmuan yang telah disampaikan.
Bagi dosen, “budaya formalitas” mungkin bisa dikatakan sebagai faktor dominan terjadinya dysfunctional mindset dalam membentuk efektifitas pembelajaran. Tuntutan dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi; regulasi-regulasi dari pemerintah yang mengharuskan dosen untuk melakukan penelitian dan pengabdian; tuntutan akan jenjang karir yang harus dicapai; belum lagi tuntutan dari perguruan tinggi terhadap optimalisasi dalam berbagai hal; ditambah dengan beban mengajar yang diberikan oleh perguruan tinggi, apalagi jika mengajar di banyak tempat; menjalani bisnis di luar jika ada; kemudian tuntutan untuk membagi porsi yang seimbang dengan urusan rumah tangga. Merupakan bentuk-bentuk kompleksitas tuntutan, beban, dan amanah yang hadir dan dihadapkan kepada para dosen, sehingga membuat kita lupa, lalu menafikan tanggung jawab moral baik kepada agama maupun undang-undang dalam mendidik, mengajarkan, dan mencerdaskan anak bangsa ini.
Jika kita fold up lagi, ketidak efektifan tersebut bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal berikut ini: (1).Strategi dan model pembelajaran yang disampaikan oleh para dosen belum menyentuh substansi dari materi atau keilmuan, sehingga membuat para mahasiwa kesulitan dalam menyerapnya. (2). Materi-materi pembelajaran yang disampaikan oleh dosen kurang relevan dengan kondisi “kekinian” – materi tersebut seharusnya bersifat aplikatif dengan kondisi “kekinian”, sehingga memudahkan mereka dalam proses adaptasi pemahaman. (3). Kurangnya kemampuan para dosen dalam berinovasi untuk menghadirkan sebuah media pembelajaran yang lebih bersifat interaktif pada saat proses transformasi belajar dan mengajar. (4). Minimnya proses evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh para dosen sebagai “correction tool” dalam melihat dan mengetahui sejauh mana daya serap para mahasiswa untuk menguasai dan memahami materi atau keilmuan yang sudah disampaikan. (5). Gaya belajar (learningstyle) para dosendi saat proses transformasi belajar dan mengajar–apakah terlalu kaku atau bahkan terlalu cuek (longgar). Fleksibelitas sangat dibutuhkan di sini, dalam artian kemampuan menguasai kondisi atau atmosfir menjadi kunci bagi seorang dosen untuk menciptakan proses transformasi belajar dan mengajar yang kondusif dan efektif.
Begitu juga halnya dengan dysfunctional mindset yang terjadi dalam motivasi belajar yang sedang menghiasi tatanan dunia akamisi kita saat ini. Di mana para dosen belum mampu membentuk perspektif positif dan konstruktif di dalam diri mahasiswa, akibatnya, para mahasiswa merasa tidak terarahkan, terbimbing, dan tertuntun dalam proses pembelajaran, baik dari sisi penguasaan maupun pemahaman keilmuan tersebut. Buruknya, mahasiswa-mahasiwa tersebut gagal dalam merepresentasikan fundamental dari kelimuan atau materi dan bahkan menganggap apa yang mereka terima adalah sesuatu hal yang tidak bermanfaat (tidak berefek) untuk dirinya.
Konsekuensi logis dari kondisi ini, mau tidak mau, adalah ketidaktahuan yang kompleks (complex folly) – baik dari ketidak pahaman, ketidak tahuan, dan ketidak mampuan menyerap materi perkuliahan, kemudian ketidak tahuan akan tujuan dari materi tersebut diajarkan, dan ketidak tahuan bagaimana caranya melakukan proses pembelajaran yang efektif dalam menyerap materi tersebut, serta ketidak tahuan bagaimana menjadi mahasiswa yang kompeten. Pada akhirnya, sama halnya dengan dosen mereka, perkuliahan atau proses tatap muka-pun juga sebagai formalitas belaka bagi para mahasiswa. Inilah yang disebut dengan “formality motivation” dalam proses pembelajaran.
Untuk membenahi dysfunctional mindset terhadap motivasi belajar, penulis melihat ada dua hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus: (1). Faktor Pribadi (Internal Factor) Para mahasiswa dan para dosen harus saling sepakat untuk meninggalkan dysfunctional mindset formalitas dalam setiap aktifitas atau proses transformasi belajar dan mengajar berlangsung. Sinergi niat antara dosen dan mahasiswa merupakan fundamental utama yang membantu membentuk iklim dan motivasi belajar yang koheren.
Dosen harus membangun kesadaran terus-menerus serta memiliki niat yang lurus untuk menghantarkan pengetahuan serta pemahaman materi atau keilmuan kepada para mahasiswanya. Nantinya akan dapat diukur dengan kemampuan daya serap mahasiwa dalam mengetahui, mengusasai dan memahami materi tersebut. Para dosen harus bisa mendesain sebuah proses transformasi belajar dan mengajar yang dinamis, interaktif, dan kondusif agar dari sisi para mahasiswa diharapkan bisa mendorong lahirnya motivasi untuk berprestasi (berhasil menyerap, menguasai, dan memahami materi) sehingga para mahasiswa menjadi lebih terarah dan terukur dalam melakukan segala kegiatan akademisnya. (2). Faktor lingkungan (Eksternal Factor). Faktor eksternalitas yang ada pada dosen dan mahasiswa bisa menjadi “pembias” dalam membangun sinergi motivasi agar tetap berada dalam satu atmosfer dan frekuensi yang sama. Kompleksitas tanggung jawab para dosen di atas tadi akan menjadi faktor-faktor pengganggu, begitu juga sebaliknya dengan para mahasiswa, paradigma-paradigma yang berasal dari keluarga dan lingkungan sosialnya akan bisa menjadi penghambat dalam membentuk motivasi belajar yang konstruktif.
Menyelaraskan persepsi guna membentuk sebuah pemahaman motivasi belajar dan mengajar harus menjadi sebuah tolok ukur yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak (mahasiswa dan dosen) agar dysfunctional mindset terhadap motivasi belajar tidak terjadi–menjadikan proses transformasi belajar dan mengajar antara dosen dan mahasiswa sebagai prioritas utama dan mampu mengesampingkan faktor-faktor eksternal tersebut untuk sementara waktu.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak diri pribadi dan juga rekan-rekan dosen serta para mahasiswa di manapun berada sebagai generasi intelektual dan sekaligus harapan bangsa ini untuk saling introspeksi diri agar bisa berbenah diri dan melepaskan dysfunctional mindset yang sudah membelenggukan kita saat ini.
Sulit rasanya membangun iklim akademis yang kondusif dengan kompleksitas permasalahan yang ada, jika salah satu pihak dari mata rantai civitas academica ini masih memiliki dysfunctional mindset-nya masing-masing.
*Penulis adalah Dosen FEB-UHAMKA
Comment