Opini
Jumat 02 Juli 2021 | 20:19 WIB
Laporan: Desya prihatini
Tingkat Keefektifan Pembelajaran Daring
Desya prihatini, Mahasiswi S1 Akuntansi Universitas Pamulang
Lonjakan kasus aktif COVID-19 menunjukkan bahwa sistem pertahanan semua sektor masyarakat internasional sangat rapuh. Di Indonesia sendiri, kurva penyebaran COVID-19 diperkirakan akan landai, namun kurva penyebarannya masih terus meningkat. Dengan kata lain, ancaman COVID-19 akan terus melanda sektor pendidikan dan dapat menyebabkan penurunan kualitas sistem pendidikan. Oleh karena itu, dalam penerapan social distance, pembelajaran online dapat dikatakan sebagai satu-satunya pilihan pembelajaran yang dapat dilakukan.
Di satu sisi, kebijakan ini memberikan angin segar bagi dunia pendidikan, karena mengutamakan keselamatan kegiatan mengajar. Namun di satu sisi, hal itu juga menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas kemampuan yang diperoleh. Padahal perkembangan teknologi justru mendukung pelaksanaan pembelajaran online.
Namun, pelaksanaan pembelajaran semacam ini dapat menimbulkan kesenjangan komunikasi antara pendidik dan peserta didik sehingga menimbulkan kesalah pahaman tentang apa yang disampaikan. Arti penting belajar tidak hanya untuk menyampaikan materi, tetapi juga untuk memastikan interaksi dengan materi. Apalagi dalam proses ini dikomunikasikan melalui perantara media. Jika terus belajar online, akan ada banyak risiko, antara lain:
Pertama, karena Covid-19, selain kesehatan (fisik), pemerintah juga perlu memperhatikan beberapa hal serius. Pandemi COVID-19 secara tidak langsung berdampak pada kesehatan mental. Kecemasan yang berlebihan dalam menghadapi penyebaran COVID-19 menjadi salah satu dampak lain yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya pelajar. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maia, Berta Rodrigues, dan Paulo Cesar, siswa yang dinilai selama pandemi menunjukkan tingkat kecemasan, depresi, dan stres yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Oleh karena itu, pembelajaran daring berdampak negatif pada mahasiswa.
Kedua, dua penelitian dari lembaga terkemuka di Amerika Serikat sama-sama menunjukkan bahwa banyak kinerja siswa selama pembelajaran online turun secara signifikan. Melihat hal tersebut tentunya kemungkinan terjadinya generasi yang hilang di sekolah dan perguruan tinggi semakin besar, hal ini dikarenakan tidak adanya interaksi langsung atau tatap muka antara guru dan siswa. Bukankah pendidikan penting dalam persekutuan nyata dengan peserta didik? Selain itu, tugas yang diselesaikan siswa merupakan hasil sendiri, bahkan hasil orang lain, sehingga aspek akhlak mulia seperti kejujuran tidak tertanam dalam pembelajaran online. Oleh karena itu, dikhawatirkan jika pembelajaran online ini berlangsung lama (misalnya hingga tahun 2022), dampaknya akan berkepanjangan. Potensi generasi yang hilang akan terus berkembang.
Selain itu, diperlukan kemampuan yang kuat untuk beradaptasi dengan situasi pembelajaran ini, terutama bagi siswa yang tidak dapat mengakses Internet dalam kondisi geografis, masih ada masalah seperti kesenjangan fasilitas, penguasaan teknis dosen dan guru yang rendah, jaringan pembatasan atau kuota akses Internet. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam pembelajaran online, seperti ancaman putus sekolah dan risiko kehilangan studi karena dipaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Dengan terjadinya kehilangan belajar maka akan memengaruhi kemampuan belajar siswa, dan siswa tertinggal dalam belajar dan membutuhkan waktu untuk pemulihan belajar. Oleh karena itu, saya tidak setuju bahwa pembelajaran online akan digunakan lebih efektif di masa depan. Hal ini karena meskipun pembelajaran online memang kurang efisien dari segi waktu dan tenaga, namun masih lebih baik dari skenario terburuk pembelajaran online. Pembelajaran online dapat mengikis kemampuan dan efektivitas pembelajaran, meskipun merupakan sistem yang kompleks.
*) Semua isi tulisan tanggung jawab penulis
*) Penulis adalah Mahasiswi S1 Akuntansi Universitas Pamulang

Comment