Opini
Selasa 15 Nopember 2016 | 09:46 WIB
Laporan: M. Khubab Fairus
Tak Ada Kaitan antara Bom Samarinda dengan Aksi 411
Visione.co.id - Serangan bom molotov yang terjadi di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada (13/11) lalu bertendesi mencederai aksi damai umat Islam pada 4 November, maupun yang akan datang, yakni 25 November.
Serangan bom di rumah ibadah ini telah melunturkan watak Islam yang ramah. Padahal, seperti yang diutarakan KH. Abdullah Gymnastiar pada acara Indonesian Lawyer Club (ILC) beberapa waktu lalu, Islam itu sebetulnya sangat menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.
Hal itu terbukti tatkala ada jemaat umat Kristiani yang hendak melakukan resepsi pernikahan di Gereja Katedral, Jakarta, bersamaan dengan aksi demonstrasi 4 November.
Umat Islam yang menjadi peserta aksi mengingatkan kepada pengantin itu untuk mengangkat gaun pernikahannya yang tergerai lantaran kondisi jalanan yang becek. Mereka tak ingin gaun pengantin yang sudah terpakai rapih ternodai oleh air becekan itu.
Berangkat dari pemahaman umat Islam yang menjunjung tinggi toleransi, maka ada beberapa pertanyaan dalam benak saya terkait kasus pengeboman rumah ibadah di Samarinda.
Pertama, mengapa kasus tersebut muncul ketika kasus dugaan penistaan agama tengah diusut?
Kedua, Mengapa pula saat melakukan aksi pelemparan bom molotov sang pelaku menggunakan identitas atau simbol Islam, seolah merepresentasikan dan menyudutkan bahwa kaum Muslim yang melakukannya?
Seperti diketahui, dalam beberapa kasus teror melalui aksi pengeboman, pelaku kerap kerap mengatasnamakan agama guna melancarkan aksinya tersebut.
Seperti yang disampaikan Buya Syafii Maarif, menurut beliau ada dua hal yang menyebabkan aksi teror kerap terjadi di Indonesia, yakni adanya pemahaman teologi maut dan adanya kesenjangan sosial.
"Semakin berkembangnya kelompok terorisme dengan pemikiran radikalisme, mereka berpikir lebih baik mati karena untuk hidup tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan." Kira-kira seperti itu yang disebut dalam pemikiran teologi maut.
Selain itu, faktor yang melatar belakangi terjadi aksi radikal disebabkan oleh adanya kondisi yang rapuh karena kesenjangan sosial. Coba perhatikan kondisi sosial-ekonomi di Indonesia saat ini. Jika perekonomian Indonesia melemah, maka akan memicu para kelompok teroris untuk melawan pemerintah.
Jadi, menurut saya, kasus teror melalui aksi pengeboman itu murni sebagai masalah sosial sebagai dampak dari kemiskinan, kesenjangan dan penegakkan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Mengapa demikian?
Hal ini terjadi ketika penguasa mengeluarkan kebijakan yang justru memiskinkan rakyatnya. Sebab itulah kelompok yang kemudian melakukan teror merasakan ketidakadilan.
Kemudian, pelanggaran harkat kemanusiaan. Aksi yang ini di latar belakangi oleh adanya diskriminasi suku, adat, ras dan agama.
Jadi, menurut saya, aksi pengeboman rumah ibadah di Samarinda tidak ada kaitannya dengan tuntutan penegakkan hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur non aktif DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Kasus pengeboman yang terjadi adalah murni tindak pidana teror yang di lancarkan oleh pihak tertentu dan pelakunya pun orang lama yang biasa melakukan tindakan tersebut, mengingat pelaku yang juga mantan narapidana kasus bom buku 2011 di Tangerang.
Maka, dalam kasus ini, kita perlu meninjau ulang dengan beragam perspektif agar tidak terprovokasi. Bila terpancing, maka kan menimbulkan perpecahan kerukunan.
Akhirul kalam, menjaga kebinekaan adalah kewajiban bersama sebagai rakyat Indonesia, khususnya dalam hal ini toleransi antar umat beragama sebagai tonggak tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu harus diwujudkan agar tidak mencederai cita-cita luhur para pendiri bangsa.
*) Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ushuluddin Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat dan Mahasiswa Tafsir Hadist UIN Jakarta
**) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi visione.co.id
Comment