Opini
Rabu 27 Agustus 2025 | 20:22 WIB
Laporan: Study Rizal LK
Tabola Bale: Dari Lirik Lokal ke Ruang Publik Nasional

Lagu Tabola Bale dibuka dengan ungkapan sederhana dari bahasa daerah Nusa Tenggara Timur yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kurang lebih “hatiku berdebar-debar, gelisah karena rindu, tersipu karena cinta.” Lirik itu kemudian dilanjutkan dengan gaya jenaka, bercampur kosakata bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Minang, sehingga memberi kesan cair, segar, dan bersahaja. Bagi pendengarnya, pesan yang ditangkap bukan hanya soal cinta romantis, tetapi juga tentang rasa gembira yang lahir dari keragaman ekspresi budaya.
Ketika lagu ini dinyanyikan di Istana Merdeka pada peringatan HUT RI ke-80, makna yang terkandung dalam liriknya menjelma jauh melampaui pengalaman personal. Suasana sakral yang biasanya penuh tata protokol tiba-tiba berubah menjadi ruang publik yang cair. Presiden, pejabat negara, aparat, hingga tamu undangan tak kuasa menahan diri untuk berjoget. Fenomena ini tidak berhenti di halaman istana, melainkan segera bergulir viral di media sosial, di mana jutaan orang menontonnya, membagikannya, bahkan menirukan gerakannya.
Dalam perspektif komunikasi kritis, peristiwa ini memperlihatkan bagaimana budaya populer bekerja sebagai bahasa politik. Sebuah lagu yang awalnya lahir dari ekspresi lokal anak muda Timur diangkat menjadi simbol kebersamaan nasional. Negara, dengan menampilkan Tabola Bale di jantung kekuasaannya, seolah hendak mengatakan: inilah wajah Indonesia yang bahagia, inklusif, dan penuh energi muda. Namun di balik representasi kebahagiaan itu, kita perlu bertanya: apakah simbol kebersamaan ini sebanding dengan realitas kesejahteraan yang dialami masyarakat Indonesia Timur?
Kekuatan Tabola Bale justru terletak pada kemampuannya menghadirkan identitas lokal ke dalam percakapan nasional. Anak-anak Timur yang selama ini sering dipandang dari pinggiran kini tampil sebagai pusat perhatian. Mereka membuktikan bahwa kreativitas dari daerah bisa menggetarkan istana sekaligus menguasai algoritma media sosial. Tetapi komunikasi kritis mengingatkan bahwa pengakuan simbolik tidak selalu berbanding lurus dengan keadilan struktural. Budaya bisa dirayakan, sementara ketimpangan sosial-ekonomi tetap bertahan.
Di ruang digital, viralitas Tabola Bale menegaskan logika kapital media baru. Jutaan kali penayangan di YouTube dan TikTok memperlihatkan bagaimana ekspresi lokal berubah menjadi komoditas global. Platform memperoleh keuntungan dari monetisasi, sementara para pencipta lagu masih berjuang di pinggiran industri. Inilah wajah paradoks budaya digital: ia membuka ruang ekspresi, tetapi sekaligus menempatkan kreator dalam relasi kuasa yang timpang.
Maka, ketika kita melihat Tabola Bale bergema di Istana, kita menyaksikan bukan sekadar pesta musik, melainkan pertarungan makna. Lagu itu adalah ruang negosiasi antara kekuasaan negara yang ingin menghadirkan citra bahagia, masyarakat Timur yang menuntut pengakuan, dan industri digital global yang mengubah ekspresi lokal menjadi keuntungan ekonomi. Dalam pusaran itu, kita belajar bahwa musik dapat menjadi bahasa politik, bukan dengan retorika keras, melainkan lewat tarian, tawa, dan joget bersama.
Tabola Bale adalah bukti bahwa budaya populer tidak pernah netral. Ia bisa menjadi jembatan kebersamaan, bisa pula alat legitimasi. Ia bisa menghadirkan tawa, tetapi juga menyimpan kritik. Dan justru di situlah kekuatannya: mengingatkan bahwa kebahagiaan Indonesia tidak boleh berhenti pada simbol di istana, melainkan harus hadir nyata dalam kehidupan rakyat, terutama mereka yang selama ini bersuara dari pinggiran. (srlk)
* Dosen FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Comment