Opini
Rabu 11 Juni 2025 | 22:34 WIB
Laporan: Khotib
Pendidikan ala Barak: Mendisiplinkan atau Mengabaikan Hak Anak?

Belakangan ini, dunia pendidikan Indonesia kembali diramaikan dengan wacana program “sekolah ala militer” untuk membenahi karakter pelajar. Beberapa pemerintah daerah menggulirkan kebijakan yang dianggap “terobosan” dalam menangani siswa bermasalah: mengirim mereka ke barak militer untuk mendapatkan pembinaan karakter dan pelatihan disiplin. Program ini menuai sorotan tajam dari publik, aktivis pendidikan, hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), karena dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar pendidikan dan hak anak.
Kebijakan ini bermula dari kekhawatiran banyak pihak terhadap menurunnya kedisiplinan siswa di sekolah, meningkatnya kasus perundungan, kekerasan, hingga kenakalan remaja. Dalam konteks ini, pendekatan ala militer dipandang sebagai solusi instan untuk “menertibkan” siswa yang dianggap membangkang atau menyimpang. Barak militer, yang identik dengan ketegasan, hierarki, dan kepatuhan mutlak, dianggap mampu membentuk ulang karakter siswa menjadi lebih disiplin dan patuh terhadap aturan.
Namun, apakah pendekatan ini benar-benar sejalan dengan tujuan pendidikan nasional?
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan ini sangat jelas: pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara utuh.
Sebaliknya, pendekatan ala militer sangat berfokus pada disiplin struktural, kepatuhan mutlak terhadap atasan, dan penghapusan individualitas demi ketertiban kolektif. Ini mungkin sesuai untuk membentuk prajurit, tetapi apakah cocok untuk membentuk pribadi anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pencarian jati diri?
Dengan mengirim anak-anak ke lingkungan yang penuh tekanan fisik dan psikologis tanpa mempertimbangkan latar belakang personal mereka, sekolah justru berisiko mencederai hak-hak anak sebagai individu. Apalagi jika proses seleksi siswa dilakukan secara sewenang-wenang tanpa asesmen profesional dari psikolog atau pendidik.
Perilaku menyimpang di sekolah sering kali merupakan gejala dari masalah yang lebih dalam. Faktor-faktor seperti kondisi keluarga yang disfungsional, tekanan ekonomi, bullying, hingga gangguan kesehatan mental bisa menjadi penyebab utama. Menganggap bahwa semua masalah tersebut bisa diselesaikan hanya dengan kedisiplinan militer adalah bentuk penyederhanaan yang keliru.
Alih-alih mengatasi akar masalah, kebijakan ini hanya menangani gejalanya dengan cara represif. Lebih buruk lagi, pengalaman di lingkungan militer yang keras justru dapat memperkuat trauma, meningkatkan perasaan terasing, dan memperburuk perilaku siswa ketika mereka kembali ke lingkungan sekolah atau masyarakat.
Jika benar ingin mendisiplinkan, mengapa bukan melalui pendekatan yang edukatif dan inklusif? Mengapa bukan dengan memperkuat peran guru BK, psikolog sekolah, atau program pendidikan karakter yang berbasis dialog, refleksi, dan pemberdayaan?
Salah satu kekeliruan besar dalam memahami pendidikan karakter adalah menganggapnya sebagai hasil dari pemaksaan perilaku. Padahal, karakter tumbuh dari keteladanan, penghayatan nilai, serta hubungan yang penuh respek antara siswa dan guru.
Penelitian dalam psikologi pendidikan menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih efektif ketika merasa aman, dihargai, dan diberi ruang untuk menyampaikan pendapat. Ketika sekolah berubah menjadi ruang yang menekan dan menghukum, semangat belajar pun akan tergantikan oleh rasa takut dan pemberontakan pasif.
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem pendidikan yang sehat: guru yang berempati, kurikulum yang relevan, serta lingkungan sekolah yang suportif. Jika semua siswa yang “bermasalah” langsung dikirim ke barak, maka sistem sekolah gagal menjalankan fungsinya sebagai pembina, dan malah melempar tanggung jawab ke pihak lain.
Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (CRC) melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Dalam konvensi ini, setiap anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, perlakuan yang merendahkan martabat, serta hukuman yang kejam atau tidak manusiawi.
Mengirim anak ke lingkungan militer tanpa persetujuan orang tua, tanpa konseling psikologis yang memadai, dan tanpa alternatif pendidikan yang setara bisa dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak tersebut. Pendidikan tidak boleh dijadikan alat penindas, melainkan jembatan untuk memahami, mendampingi, dan menumbuhkan potensi anak secara menyeluruh.
Jika pemerintah atau dinas pendidikan benar-benar ingin membina karakter siswa, seharusnya evaluasi dilakukan dari hulu ke hilir: dari sistem pengajaran, kurikulum yang terlalu padat, minimnya pelatihan guru, hingga tidak meratanya layanan konseling di sekolah-sekolah.
Pendekatan militer bukan hanya reaktif, tetapi juga mencerminkan kurangnya investasi pada sistem pendidikan itu sendiri. Mengapa tidak memperkuat pelatihan guru tentang psikologi anak? Mengapa bukan membangun lebih banyak pusat layanan konseling di sekolah? Mengapa bukan membuka ruang dialog antara siswa dan sekolah, ketimbang langsung memberikan “hukuman kolektif”?
Pendidikan bukan tentang membuat anak-anak menjadi patuh, melainkan menjadikan mereka manusia yang berpikir, merdeka, dan bertanggung jawab. Di tengah era globalisasi dan krisis multidimensi seperti saat ini, Indonesia justru membutuhkan generasi muda yang kritis, bukan sekadar disiplin secara mekanis.
Mengembalikan fungsi pendidikan ke jalurnya berarti menolak segala bentuk kekerasan dan paksaan dalam proses belajar. Pendidikan harus berpihak pada anak, pada masa depan, dan pada nilai-nilai kemanusiaan yang utuh.
Pendidikan bukan latihan militer. Sekolah bukan barak. Dan anak-anak bukan tentara.
By: Dwi Andhika Saputra, Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika
Comment