Opini
Senin 05 Agustus 2024 | 14:58 WIB
Laporan: Yasir Mubarok, S.S., M.Hum.
Kebiasaan vs Ketetapan Bahasa
Survei Kompas mendokumentasikan kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia oleh generasi muda. Hasilnya menunjukkan bahwa responden yang tinggal di daerah perkotaan lebih sering menggunakan bahasa Indonesia daripada mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Di daerah perkotaan, bahasa Indonesia lebih sering digunakan hingga 43,1% responden milenial dan Gen Z. Sebaliknya, bahasa Indonesia hanya digunakan oleh 27,8 persen responden di daerah pedesaan dalam kelompok ini.
Pengunaan bahasa Indonesia tersebut tidak berbanding lurus dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti dalam penggunaan ejaan yang baku. Penulis melihat beberapa kasus misal penulisan "kwitansi" yang sudah menjadi lazim digunakan oleh masyarakat. Padahal menurut KBBI, ejaan yang tepat adalah "kuitansi". Sementara kata "kwitansi" bukan penggunaan yang baku. Kata kuitansi berasal dari kata "kwitantie" dalam bahasa Belanda yang merupakan unsur serapan dalam bahasa Belanda. Fonem /w/ pada kata "kwitantie" merupakan bunyi aproksiman atau bunyi pelancar. Menurut kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, bunyi aproksiman tidak dituliskan. Oleh karena itu, istilah "kwitantie" diasimilasi ke dalam bahasa Indonesia sebagai "kuitansi dan bukan "kwitansi." Dalam konteks bahasa Indonesia, unsur-unsur asing, seperti kata "kwitantie," dalam bahasa Belanda diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui penyesuaian ejaan dan pengucapan. Dalam hal ini, pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Contoh lain adalah kata kwintaal dan kwast, yang juga diasimilasi dari bahasa Belanda menjadi kuintal dan kuas dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya kata kuitansi, unsur-unsur asing yang diserap dari bahasa lain pun memiliki kesamaan kasus seperti kuitansi vs kwitansi. Seperti kosakata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab Ramadhan. Kata tersebut digunakan dalam konteks bahasa Indonesia, namun ejaan dan pengucapannya pun masih mengikuti cara asing. Padahal menurut KBBI, ejaan yang tepat adalah Ramadan, bukan Ramadhan. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia tidak mengenal adanya konsonan rangkap misal /dh/ dalam kasus di atas. Meskipun KBBI menggunakan istilah "Ramadan", kata "Ramadhan" lebih sering dikenal oleh masyarakat umum. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat cenderung lebih sering menggunakan sistem transkripsi daripada transliterasi. Transkripsi bahasa mengacu pada konversi bahasa lisan ke dalam bentuk tulisan, khususnya dalam hal bunyi. Di sisi lain, transliterasi melibatkan konversi satu set huruf atau karakter ke yang lain. Selain itu, pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat diakses melalui laman kbbi.kemdikbud.go.id.
Kebingungan lainnya bisa dilihat ketika mencoba menuliskan kata benda Idulfitri atau Iduladha. Biasanya, masyarakat menuliskan istilah tersebut secara terpisah "Idul Fitri" dan "Idul Adha". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ejaan yang tepat adalah Idulfitri dan Iduladha dengan menggabungkan istilah 'Idul' dan 'Fitri' menjadi satu. Menurut KBBI, penulisan "Idul Fitri" atau "Idul Adha" sebagai dua kata terpisah dianggap tidak baku.
Lebih lanjut, jika ditilik dari sejarah ejaan, ejaan bahasa Indonesia sering gonta ganti dimulai Ejaan van Ophuijsen (1901-1947), Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (1947−1956), Ejaan Pembaharuan (1956−1961), Ejaan Melindo (1961−1967), Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kasusastraan (LBK) (1967−1972), Ejaan yang Disempurnakan (EYD) (1972−2015), Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) (2015-2022), dan EYD Edisi V (2022-sekarang). Fenomena ini menyebabkan kebingungan masyarakat dan memungkinkan individu untuk terus menggunakan istilah-istilah yang sudah ketinggalan zaman yang tidak lagi relevan di masa sekarang. Jadi dapat disimpulkan yang menjadi kebiasaan belum tentu menjadi ketetapan bahasa.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang
Comment