Opini

Rabu 11 Juni 2025 | 21:22 WIB

Laporan: Khotib

Kekerasan Di Kampus Merupakan Pelanggaran Atau Pendidikan?

Nurul Safitri, Mahasiswi Universitas Pamulang (Istimewa)

Kampus, sebagai institusi pendidikan tinggi, seharusnya menjadi tempat paling aman dan bebas dari kekerasan, disinilah generasi muda dibentuk untuk menjadi pemimpin masa depan, individu yang cerdas, kritis, dan berintegritas. Namun, kenyataan pahit yang harus dihadapi adalah bahwa kekerasan dikampus masih menjadi persoalan serius diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kekerasan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk: kekerasan fisik, kekerasan verbal, pelecehan seksual, hingga kekerasan psikologis yang tersembunyi dibalik sistem yang tampak formal dan terstruktur.

Fenomena kekerasan dilingkungan kampus bukan menjadi hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap disuguhi berita tentang tindakan kekerasan yang melibatkan mahasiswa, organisasi kemahasiswaan, bahkan dosen dan pihak birokrasi kampus. Ironinya, banyak dari kasus-kasus ini tidak pernah sampai kejalur hukum atau mendapatkan penyelesaian yang adil bagi korban. Ada budaya diam (silence culture) yang kerap membungkam suara korban dan membiarkan pelaku melenggang bebas tanpa konsekuensi berarti.

Budaya Patriarki dan Senioritas yang Mengakar

Salah satu penyebab utama kekerasan dikampus adalah budaya patriarki dan senioritas yang telah mengakar kuat. Dalam banyak organisasi kemahasiswaan, kekuasaan senior sering kali digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi atau bahkan menyakiti junior. Perpeloncoan dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru atau kegiatan organisasi menjadi bentuk kekerasan yang seringkali dibungkus dalam istilah "tradisi" atau "pembentukan karakter." Padahal, praktik-praktik tersebut tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental korban.

Budaya seperti ini juga sering kali dilindungi oleh sistem yang permisif. Dosen, pengurus kampus, bahkan mahasiswa sendiri kadang menormalisasi kekerasan dengan dalih bahwa semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan. Ini adalah pemikiran yang sangat keliru dan perlu diluruskan. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dan tidak boleh dibenarkan.

Minimnya Mekanisme Pelaporan dan Perlindungan Korban

Salah satu alasan mengapa kekerasan dikampus terus terjadi adalah karena tidak adanya mekanisme pelaporan yang efektif dan aman bagi korban. Banyak korban yang merasa takut untuk melapor karena khawatir akan mengalami intimidasi, pengucilan sosial, atau bahkan ancaman dari pelaku. Dalam beberapa kasus, pihak kampus juga terkesan tidak serius dalam menangani laporan kekerasan. Ini menyebabkan kepercayaan mahasiswa terhadap sistem menjadi luntur.

Lembaga pendidikan seharusnya menyediakan unit khusus yang bertugas menangani kasus kekerasan, dengan prosedur yang jelas, transparan, dan berpihak kepada korban. Pendampingan psikologis dan hukum juga perlu disediakan untuk memastikan korban tidak berjuang sendirian. Tanpa adanya sistem pendukung yang memadai, korban akan terus terjebak dalam lingkaran kekerasan yang tidak berkesudahan.

Isu yang Sering Diabaikan

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di kampus, namun paling jarang dilaporkan. Korban sering kali merasa malu, takut tidak dipercaya, atau khawatir akan dampak sosial yang mereka terima. Padahal, efek dari kekerasan seksual bisa sangat merusak, baik secara psikologis maupun fisik.

Sayangnya, banyak kampus masih belum memiliki peraturan yang tegas dan sistematis dalam menangani kekerasan seksual. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan seksual bisa tetap mengajar atau aktif dalam kegiatan kampus tanpa mendapat sanksi yang setimpal. Ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen sebagian institusi pendidikan dalam menciptakan ruang aman bagi mahasiswanya.

Hak dan Tanggung Jawab Kewarganegaraan di Kampus

Kekerasan dikampus juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara. Mahasiswa berhak mendapatkan perlindungan, rasa aman, dan kesempatan belajar yang setara tanpa rasa takut atau terintimidasi. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menjamin hak atas pendidikan dan perlindungan dari kekerasan.

Namun disisi lain, mahasiswa juga memiliki tanggung jawab sebagai warga negara. Mereka tidak boleh tinggal diam saat menyaksikan kekerasan, melainkan harus berani menyuarakan kebenaran dan mendukung korban. Diam atau membenarkan kekerasan adalah bentuk kegagalan menjalankan kewarganegaraan secara etis.

Kampus sebagai bagian dari sistem negara juga wajib menjalankan prinsip demokrasi, keadilan, dan perlindungan hak asasi. Ketika kekerasan dibiarkan terjadi, maka kampus telah gagal menjalankan perannya sebagai perpanjangan tangan negara dalam mencerdaskan dan melindungi warga negaranya.

Peran Mahasiswa dalam Melawan Kekerasan

Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam memerangi kekerasan di kampus. Mereka tidak hanya harus berani bersuara ketika melihat ketidakadilan, tetapi juga aktif dalam menciptakan budaya baru yang lebih inklusif dan bebas dari kekerasan. Organisasi kemahasiswaan harus mulai mereformasi struktur internal mereka dan menghapus segala bentuk praktik kekerasan yang dibungkus dalam tradisi.

Selain itu, mahasiswa juga bisa mendorong kampus untuk membentuk kebijakan yang berpihak pada korban, serta terlibat dalam advokasi dan edukasi terkait kekerasan. Pendidikan tentang kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan kekerasan berbasis gender harus menjadi bagian dari kurikulum atau kegiatan ekstra kurikuler yang diwajibkan.

Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan Kampus

Untuk benar-benar menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan, diperlukan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan dari pihak kampus. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Membentuk satuan tugas anti-kekerasan yang memiliki kewenangan untuk menerima laporan, melakukan investigasi, dan memberikan rekomendasi sanksi.
  2. Menyediakan pelatihan dan sosialisasi secara rutin kepada seluruh sivitas akademika mengenai kekerasan dan cara mencegahnya.
  3. Memastikan keterbukaan informasi mengenai prosedur pelaporan dan perlindungan korban.
  4. Mengintegrasikan pendidikan karakter dan kesetaraan gender dalam sistem pembelajaran.
  5. Menjalin kerja sama dengan lembaga luar, seperti LSM atau organisasi hak asasi manusia, untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Kekerasan dikampus bukan hanya persoalan individu, melainkan persoalan sistemik yang harus diselesaikan secara kolektif. Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan ruang aman dan mendukung bagi semua penghuninya, tidak ada alasan untuk menoleransi kekerasan dalam bentuk apapun.

Mahasiswa, dosen, dan semua elemen kampus harus bahu-membahu dalam membangun budaya yang sehat, budaya yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap sesama, kesetaraan, dan keadilan. Dalam konteks kewarganegaraan, menolak kekerasan adalah wujud nyata dari kecintaan terhadap bangsa dan negara.

By; Nurul Safitri, Mahasiswi Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika

Comment