Opini

Sabtu 01 Februari 2025 | 23:04 WIB

Laporan: Sugiyo, S.Pd., M.Pd.

Mendoakan Tetangga

Dokumentasi Pribadi

Tadi malam sebelum tidur saya secara khusus berdoa untuk tetangga di sekitar rumah. Jujur, seumur-umur saya tidak pernah sekali pun mendoakan mereka. Bahkan saya hanya kenal dua di antara mereka. Om Rizki dan tante Lia, tetangga sebelah kiri. Pak Yan, tetangga sebelah tenggara. Depan rumah tidak tahu nama, hanya panggil Om dan tante. Sebelah kanan tidak tahu nama, hanya panggil mas dan mbak. Belakang rumah sama sekali tidak kenal. Karena ruko dan jadi kontrakan.

Permintaan saya dalam doa dua. Pertama, bersyukur pada Allah dikaruniai istri dan anak sehat baik jasmani dan rohani. Kedua, bersyukur memiliki tetangga sehat dan tidak mengganggu selama hidup berdampingan.

Pertanyaannya kok, tumben saya tiba-tiba mendoakan tetangga, karena selama ini  keluarga saya khususnya saya dapat tidur dengan nyenyak dan nyaman.

***

Saya boleh dikatakan orang cuek bebek dengan tetangga. Selama mereka tidak mengganggu dan menghormati cukup basa-basi. Yang terpenting say helo.  Saya sekarang tinggal di Pondok Cabe. Sebelumnya saya tinggal di Pamulang No. 19  - 21.  Karena untuk kebutuhan anak masuk kuliah, rumah No. 20 dan 21 saya jual. Sementara No. 19 saya kontrakan.

Rumah No. 21 dibeli Pak Romli. Rumah No. 20 yang beli saya lupa namanya. Saya ingat Pak Romli karena dia membantu saya saat butuh-butuhnya biaya untuk membayar uang masuk kuliah anak. Rumah No. 21 waktu itu saya tawarkan 150 juta. Namun lebih dari dua tahun diiklankan di rumah.com, koran, dan pasang papan di depan rumah tidak ada yang beli.

Tuhan ternyata punya rencana yang indah pada waktunya. Pada saat anak saya mau kuliah dan harus membayar, telepon saya berdering. Seorang ibu menanyakan harga rumah No. 21.

Saya katakan: Harga 250 juta. Masih boleh di tawar. Baik. silakan ibu rundingan dengan suami. Dua hari kemudian dia menelepon kembali. Saya senangnya bukan main. Karena waktu pembayaran kuliah anak saya tinggal dua minggu lagi. Ibu itu menawar 215 juta. Saya minta waktu untuk diskusi dengan istri. Padahal sejatinya hanya pura-pura saja. Saya dan istri bahagia sekali. Selama dua tahun menawarkan dengan harga 150 juta ke sana kemari tidak ada yang berminat. Pada saat membutuhkan ada yang berani 215 juta. Tidak menunggu lama saya menghubungi balik dan berkata, istri saya setuju tapi saya terima bersih. Semua urusan notaris, balik nama dan pajak jual beli ibu yang tanggung. Dia setuju.

Besoknya kami bertemu di notaris untuk penandatanganan akta jual beli dan transaksi pembayaran.

***

September 2024, orang yang kontrak rumah  tidak memperpanjang. Saya menengok rumah dan keadaannya banyak yang rusak. Maklum bangunan tahun 1996 dan tidak pernah diperbaiki. Saya cari tukang, seorang teman OB satu kantor. Kerjanya hanya bisa Minggu. Saya ikut membantu teman saya. Kadang ngaduk semen, bobok tembok atau apa saja.

Pada saat kerja saya beberapa kali mendengar teriakan-teriakan seorang ibu dari rumah tetangga. Tapi saya cuek saja. Saya pikir sumber suara itu dari asisten rumah tangga rumah nomor 22. Karena dulu waktu saya masih tinggal di Pamulang 19 asisten rumah tangga itu memang aneh, maka saya abaikan saja. Mengapa saya katakan aneh, pertama, dia punya kebiasaan menjemur cucian di jalanan depan rumah tetangga. Kedua, pakaiannya tidak rapi dan usang. Ketiga, penampilannya tidak rapi, rambut acak-acakan dan wajahnya cemberut. Keempat, kalau bicara selalu ngegas, terutama  saat bicara dengan anak-anak tuannya.

Setiap minggu saya dan tukang bekerja di rumah Pamulang  21. Suara itu terus terdengar. Saya cuek saja karena merasa tidak terganggu. Tapi kalau disimak secara saksama ada kenaikan volume beberapa oktaf dari beberapa tahun lalu. Karena saya cuek, lagi-lagi keanehan itu saya tidak gubris. Teman saya yang bekerja bahkan tidak pernah sekali pun bertanya tentang kejanggalan itu.

Ritme saya setiap Minggu statis. Begitu sampai di rumah Pamulang No. 21, saya langsung mengarahkan tukang untuk bekerja ini dan itu. Sebelum membantu atau mengerjakan yang lain saya memutar lagu kesukaan dari hape  dengan volume maksimal.

Ocehan dan terikan dari rumah tetangga tersamarkan suara dari vokalis Band Tipe X, Tresno Riadi dengan lagu Salam Rindu. Saya langsung semangat bekerja sambil bernyanyi. Menjelang siang lagu bergeser ke lagu-lagu lawas. Ini permintaan tukang. Dia menggemari lagu Nicky Astria dan Scorpion. Setelah makan siang gantian lagu kesukaan saya dari band Peterpan – Noah.

Minggu kemarin saya datang lebih awal dari tukang. Biasanya kami janji bertemu di depan kantor Kelurahan Pamulang Barat. Saya SMS dia untuk langsung ke rumah di Pamulang 21. Ternyata saya datang lebih dulu. Waktu di hape menunjuk pukul 07.45. Selesai membuka pintu dan mau masuk hendak mematikan lampu. Tiba-tiba muncul Adam, satpam kompleks. Pasti menagih iuaran RT, pikir saya.

Saya menoleh dan Adam berkata, “Ada orang cari kontrakan.” Saya menarik nafas panjang – lega.

“Suruh masuk.”

Adam masuk halaman diikuti seorang bapak.

“Saya cari kontrakan untuk anak,” kata bapak “Tapi bulanan?”

“Bisanya tahunan, Pak.”

“Kalau enam bulan bagaimana?” tawar Bapak bermata sipit.

“Coba nanti saya rundingan dulu dengan istri” ujar saya, “Silakan lihat-lihat.  Renovasi sudah selesai dan tinggal pengecatan.”

Rumah kosong cepat rusak. Lebih baik dikontrakan meskipun uang sewa kecil, begitu kata istri saya. Pada saat saya minta kontrak tahunan dan calon penyewa minta bulanan sebenarnya saya tidak akan menampik. Hanya mengulur saja.

Setelah tukar nomor hape, Bapak bermata sipit pulang. Saya mengantar keluar sampai jalan. Sementara Adam masih tinggal. Dia saya tawari kopi. Saya sebenarnya hanya basa-basi, sialnya dia mau. Saya menawari bukan tanpa alasan. Selama ini dia selalu menolak setiap ditawari kopi dan makan. Tapi kali ini dia mau. Untung saya masih punya  satu saset kopi kapal api.

Saya mau merebus air. “Tidak usah,” ujar Adam. “Nanti saya seduh di pos saja.”

“Buru-buru amat.”

“Di samping pos ada acara tujuh bulanan. Saya diminta urus parkir.”

Tukang belum datang. Waktu sudah menunjuk pukul 08.10. Adam baru duduk di motor. Tiba-tiba terdengar orang ngomel-ngomel dari rumah tetangga. Pikir saya sumber suara dari asisten rumah tanggal rumah No. 22.

“Kasihan Pak Romli,’ kata Adam. Dia tidak jadi menstarter motor.

“Kenapa?”

“Istrinya stres.”

“Saya pikir itu asisten rumah No. 22.”

“Bu Romli, kasihan. Sudah tiga tahun dia sakit jiwa. Pak RT sudah bantu bawa ke dokter tapi kondisinya makin parah.”

“Kasihan Pak Romli dan tetangganya. Mereka tentu terganggu istirahatnya.”

“Pak Romli sampai kurus dan tetangga juga pusing. Tapi yang lebih kasihan anaknya.”

“Bukannya sudah menikah?”

“Keduanya masih SMA.”

“Waduh,’ saya langsung diam. Teriakan makin keras. Terdengar benda logam dipukul, saya pikir pagar. Saya perhatikan rumah No. 21. Di pagar tergantung banyak kantong plastik. Pintu pagar terbuka. Muncul Bu Romli sedang bersih-bersih. Tangan kanan memegang sapu lidi dan tangan kiri memegang selang yang mengucurkan air. Mulutnya tidak berhenti ngoceh tidak karuan, sementara kedua tangannya cekatan membersihkan teras dan halaman.

Terbayang bagaimana sedih dan pusingnya kedua anak itu. Tentu rumah itu bagai neraka saja. Di sisi lain saya membayangkan bagaimana dua remaja itu mencari alasan untuk menolak temannya yang ingin main ke rumahnya.

Pagar kembali terbuka. Muncul seorang gadis.

“Itu anaknya sulungnya,’ kata Adam. Saya melirik sekilas.

Di belakang gadis itu, tampak pasangan suami-istri bersama dua gadis sedang olah raga, jalan kaki. Mereka terlihat harmonis dan mengobrol hangat. Kaos, celana, dan sepatu mereka menunjukkan merk ternama. Sementara di depannya kontras, seorang gadis berjalan seorang diri, kepala tertunduk lesu dengan pakaian lusuh. Saya yakin anak pak Romli ini tidak berolah raga. Mungkin ke warung, atau jalan saja mencari udara segar membuang penat atau entahlah.

“Kok, tidak di masukan rumah sakit jiwa?”

“Mungkin tidak tega atau tidak punya uang. Pak Romli kena PHK 3 tahun lalu.”

“Sejak kapan Bu Romli stres?”

“Kurang lebih 3 tahun.”

“Jangan-jangan karena Pak Romli di PHK lantas istri stres.”

“Mungkin,” jawaban Adam kurang yakin “Beberapa kali dia keliling kompleks bawa surat rumah menawarkan ke warga. Bahkan sampai ke Parung.”

“Naik apa?”

“Motor.”

Pandangan saya kembali saya arahkan ke rumah No. 21 karena Bu Romli teriak-teriak lagi. Dulu depan rumah No. 21 dihuni dua orang Bapak, kakak-adik stres. Tapi tidak pernah mengganggu. Sampai akhirnya bapak tua meninggal. Tinggal si adik. Untung tidak berapa lama dia diboyong saudaranya dan rumah itu di jual. Tentu pemilik rumah sekarang menyesal tetangga depannya stres dan berteriak-teriak tidak kenal waktu.

Adam pamit mau atur parkir.

Saya menelepon istri tukang namun tidak diangkat. Telepon anaknya, tapi WAnya tidak aktif. Berhubung tukang hapenya jadul terpaksa saya menelepon pakai pulsa biasa. Tidak berapa lama dia datang.

Pikiran saya langsung terbayang istri-anak saya dan wajah-wajah tetangga saya. Betapa saya tidak bersyukurnya  selama 18 tahun tinggal di rumah sekarang. Bisa tidur nyenyak tanpa terganggu keluarga dan tetangga yang sakit jiwa. Betapa beruntungnya saya punya istri dan anak yang sehat jasmani dan rohani.

Tukang datang saya segera minta dia mengaci setelah dia meletakan jaket dan helm di kamar. Saya meraba tambalan tembok yang retak minggu lalu sudah kering. Tukang langsung mengaduk semen. Saya mencari file lagu kesukaan saya dari band Tipe X di hape. Rupanya baterai hape saya tinggal 60%. Saya ambil charge di jaket. Pada saat saya hendak mencolok kabel di hape sebuah motor lewat. Anehnya si pengendara ngoceh-ngoceh tidak karuan. Seorang ibu mengenakan koas kuning tanpa helm memacu motornya keluar kompleks. Dari pakaian yang dikenakan saya tahu itu Bu Romli.

Malam itu sebelum tidur saya mengunci pintu, mematikan lampu, dan duduk berdoa. Mendoakan istri, anak, dan tetangga. Sepanjang malam saya tidur lebih nyenyak dari biasanya.

TAG BERITA

Comment