Opini
Minggu 21 Februari 2016 | 01:32 WIB
Laporan: Umar Said
Keberanian Membangun Bangsa
“Bila nuklir dianggap berbahaya kenapa Negara-negara maju boleh memilikinya sementara kita tidak, bila nuklir dianggap berguna kenapa hanya mereka yang boleh memanfaatkannya sedang kita tidak.”
Kalimat-kalimat lantang bernada penentangan dan kengototan tersebut seakan tak pernah padam, menyala-nyala dan siap meledak. Tertanam tidak hanya dalam dada Ahmadinejad ketika melihat tingkah polah Negara-negara adidaya, tapi juga seluruh rakyat Iran; kaum muda, ulama, ilmuwan, birokrat bahkan masyarakat dunia yang merasakan hal yang sama (mustadzafin).
Sementara lawan politiknya, tak henti-henti merasa geram dan kesal ketika menyaksikan Ahmadinejad meletup-letup dalam forum-forum formal dunia. Bagi mereka Ahmadinejad merupakan titisan Darius, Raja Persia yang menguasai Babylonia dan Mesopotamia (Asia) yang diklaim Aristoteles dan para muridnya (baca; barat) sebagai bangsa barbar (Baca: timur) yang bodoh dan kejam, yang selalu menabuh genderang peperangan. “Perangi dan lemahkan, jangan berikan kesempatan sekalipun untuk kembali menjajah dan memperbudak bangsa-bangsa di sekitarnya”.
Darius atau Alexander
Ahmadinejad dan bangsa Iran tentu sadar dengan apa yang dilakukannya, Ia telah membuat bangsanya dalam bahaya dan mungkin suatu saat binasa. Sangsi ekonomi maupun militer tentunya telah dipertimbangkan matang-matang. Ia juga sadar kalau dikemudian hari mungkin ada yang akan menista gila karena tingkah polahnya.
Ahmadinejad bukanlah Imam Khomaeni, Muthahari maupun Ali Syari’ati yang memiliki seabreg teori dan kepiawaian untuk menerjemahkan filsafat politik klasik Islam kedalam idiom-idiom modern yang—harus di taati—mampu melahirkan revolusi.
Mungkin benar bahwa, Ahmadinejad lebih mirip dengan Darius yang diselimuti hasrat penyatuan dunia di bawah kekuasaan Persia. Tapi ambisi nuklir Iran memang cukup beralasan; mengingat tak hanya Iran yang mengembangkannya, alih-alih Negara maju seperti Amerika, Inggris dan Israel sudah sampai pada tahap modernisasi nuklir jauh di atas Iran dan bangsa kita yang dalam 43 tahun terhitung sejak “criticallity experiment” reaktor nuklir pertama Triga Mark II di Bandung, hingga kini baru sampai pada upaya aflikasi radioisotope (Antara, 25/10/07). Belum lagi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang hingga kini masih ramai diperdebatkan.
Selain itu, Iran dan Negara manapun pastinya juga memiliki ambisi untuk mengatasi krisis energi yang melanda dunia dewasa ini. AS, China, Jepang dan beberapa Negara maju ketar-ketir dan memacu para saintis dan peneliti untuk mengembangkan energi alternatif dari biofel hingga etanol, ribuan pabrik etanol-pun dalam tempo singkat tegak berdiri. Meski demikian, kebutuhan terhadap minyak seakan tak tergantikan.
AS bahkan sempat harus keluar dari kesepakatan Kyito, untuk menghindari batasan dunia internasional terhadap industrinya, AS tak mau bila gara-gara kesepakatan tersebut dia harus tertinggal dari Negara-negara lain.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika Iran berhasil menguasai selat Hermuze yang akhirnya mengakibatkan oil boom dalam pasar global. Keuntungan bagi para penghasil minyak, sementara malapetaka bagi Negara-negara pengkonsumsi minyak. Sedikit saja konstalasi di Negara-negara penghasil minyak bergejolak termasuk konflik di Irak, Palestina dan rencana agresi ke Iran maka, potensi oil boom dan krisis energi langsung melanda pasar global.
Oil boom ataupun krisis energi saat ini tak ayal seperti ancaman yang bisa datang dan membawa kepada kehancuran kapan saja. Tak pernah ada yang mampu meramalkan kapan dan di mana, selama hasrat dan nafsu manusia terus bergejolak.
Sekuat apapun sebuah Negara, yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah menunggu giliran untuk menerima ancaman tersebut. Dan satu-satunya cara untuk keluar dan selamat dari ancaman maut tersebut adalah mengamankan kebutuhan energi seraya keluar dari ketergantungan pada minyak. Dan itu berarti harus didukung oleh kemampuan penguasaan teknologi yang ultra tinggi; meski nuklir sekalipun.
Siapapun pasti sadar akan situasi global ini, hanya saja yang punya keberanian dan motivasi kuatlah yang mampu melewati segala macam krisis dan ketergantungan tersebut, dan Ahmadinejad serta Iran sadar betul dengan apa yang dibutuhkan untuk memanfaatkan potensi minyak yang mereka miliki dan bagaimana di masa depan mereka juga bisa kelar dari ketergantungan tersebut.
Budaya Unggul
Akhirnya, Aristoteles memang salah dengan mengira Asia adalah barbar dan bodoh. Karena ternyata Alexander Agung muridnya terbukti tidak mampu menaklukan seluruh Asia. Ia dan tentaranya malah kocar-kacir dan dipaksa pulang ke negri asalnya.
Kekeliruan yang membuat barat selalu memandang timur sebagai the other dan rendah, padahal kini terbukti bahwa Jepang, China, India dan mungkin Iran kini telah mulai memasuki tahap industri maju (newly industrializing countries), yang mampu menandingi bahkan mengungguli AS dan negara-negara Eropa.
Sejarah mencatat bahwa, kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Negara-negara non-barat itu berakar pada empat landasan atau sumber. Pertama, adalah kebudayan-kebudayaan induk (mother culture) yang unggul, misalnya Hindu-Budha di India dan Konfusianisme, Taoisme di China dan Sinthoisme di Jepang.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan—meminjam istilah Habermas—tekno-ekonomi yang mula-mula dirintis oleh barat. Ketiga, adalah majunya system dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Keempat yang tidak kalah penting, telah berkembangnya system politik dan kenegaraan.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita, adakah potensi dan keberanian tersebut?. Melihat modal capital yang ada; reaktor nuklir yang sudah berumur puluhan tahun, minimnya peneliti, rendahnya kualitas pendidikan dan tidak adanya keberanian yang diperlihatkan para pemimpin dan segenap elemen bangsa, tampaknya kita hanya tinggal menunggu saja ancaman maut tersebut, alih-alih malah mengundangnya datang, sementara kita membiarkannya.*
Comment