Pendidikan
Rabu 13 Agustus 2025 | 15:48 WIB
Laporan: Jupron, Octaviana Anugrah Ade Purnama
Desain yang Inklusif: Ketika Kreativitas Bertemu Kepedulian
sang juara Ilyas Maulana
Di tengah derasnya arus inovasi digital dan perkembangan industri kreatif, muncul satu pertanyaan penting yang kerap terpinggirkan: untuk siapa sebenarnya desain itu diciptakan? Apakah desain hanya untuk segelintir orang yang mampu mengaksesnya, atau seharusnya menjadi milik semua, termasuk mereka yang hidup dengan keterbatasan fisik?
Kemenangan Ilyas Maulana, mahasiswa Universitas Pamulang dalam ajang Accessibility Design Challenge 2025, seolah menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Lewat karya yang menggabungkan fungsionalitas, estetika, dan empati terhadap penyandang disabilitas, ia menunjukkan bahwa desain tidak cukup hanya “cantik” atau “trendi”. Desain harus hadir sebagai solusi—terutama bagi mereka yang paling membutuhkan.
Prestasi ini menjadi lebih bermakna ketika kita melihat latar belakang pesertanya: ratusan pelajar dan profesional dari berbagai disiplin ilmu bersaing dalam merancang solusi nyata untuk aksesibilitas. Di antara mereka, muncul sosok Ilyas yang tidak hanya menang, tetapi juga mengangkat kembali urgensi pembahasan soal inklusivitas dalam dunia desain dan teknologi.
Sayangnya, inklusivitas masih sering dianggap sebagai tambahan, bukan keharusan. Padahal, inklusi adalah inti dari kemanusiaan. Dalam konteks desain, ini berarti memperhitungkan ragam pengguna: dari tunanetra yang mengandalkan pembaca layar, hingga pengguna kursi roda yang kesulitan menavigasi ruang publik. Ketika desainer mulai berpikir dari perspektif kelompok yang sering tak terdengar, saat itulah lahir solusi yang benar-benar revolusioner.
Universitas Pamulang, dalam hal ini, patut diapresiasi karena telah menciptakan ruang tumbuh bagi mahasiswanya untuk tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga mengasah kepekaan sosial. Bahkan lintas program studi, seperti dukungan dari Teknik Informatika terhadap karya mahasiswa Desain Komunikasi Visual, menunjukkan bahwa kolaborasi antardisiplin adalah kunci dalam menciptakan inovasi yang berdampak luas.
Lebih jauh lagi, kemenangan seperti ini semestinya menjadi momentum refleksi bagi dunia pendidikan dan industri kreatif di Indonesia: sudahkah kita sudahkah kita membangun ekosistem yang mendukung desain yang berpihak pada semua kalangan? Sudahkah kurikulum, kebijakan, hingga praktik profesional diorientasikan untuk merespons tantangan nyata dalam masyarakat, termasuk soal aksesibilitas? Karena sejatinya, desain yang baik bukan hanya yang memenangkan penghargaan, tetapi yang mampu mengubah hidup seseorang menjadi lebih layak dan bermakna.

Comment