Opini

Rabu 18 Juni 2025 | 22:19 WIB

Laporan: Khotib

Adu Domba di Jagat Maya

Kartika Azari, Mahasiswi Universitas Pamulang (Ist)

Di era digital saat ini, arus pertukaran informasi menjadi semakin deras. Berbagai informasi dapat dengan cepat dan mudah kita akses dan bagikan dari dan ke seluruh pengguna jagat maya di seluruh dunia, salah satunya lewat media sosial. Sayangnya, saat ini media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, kreatifitas, dan edukasi justru seringkali menjadi arena adu domba. Saat ini, dapat kita saksikan dan rasakan secara langsung, isu-isu politik, agama, ras, bencana alam, tragedi, bahkan tindak-tanduk seseorang khususnya para pemengaruh, kerap dijadikan bahan untuk memicu perpecahan, saling serang, hoaks, provokasi, hingga ujaran kebencian menjadi makanan sehari-hari. Dari situ, muncul pertanyaan penting: Apakah sebagai warga negara, kita tidak punya tanggung jawab terhadap semua ini?

Dalam konteks kewarganegaraan, tanggung jawab tidak hanya berlaku di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Di era digital, setiap warga negara pada dasarnya juga merupakan warga digital yang memiliki hak untuk berpendapat melalui unggahan konten atau komentar, sekaligus berkewajiban menjaga ketertiban, kebenaran, dan etika di jagat maya. Hal ini diatur dalam:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, secara tegas melarang penyebaran informasi palsu, penghinaan, pencemaran nama baik, ancaman kekerasan atau tindakan menakut-nakuti, serta ujaran kebencian (Pasal 27–29).

2. Nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima, menuntut setiap warga negara untuk bersikap beradab, manusiawi, dan adil termasuk dalam menyampaikan pendapat di ruang digital.

Sayangnya, masih banyak warga negara yang belum memahami bahwa menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, mencermarkan nama baik seseorang untuk membuat baik nama yang lain, dan memecah belah masyarakat di dunia maya adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kewarganegaraan.

Banyak yang merasa aman di balik akun anonim atau berpikir bahwa internet adalah “wilayah bebas” tanpa hukum. Padahal, jejak digital tidak pernah benar-benar hilang, dan konsekuensinya bisa sangat nyata.

Sebagai warga negara yang bijak, kita harus mampu menyaring informasi, berpikir kritis, objektif, dan tidak mudah tersulut emosi oleh narasi adu domba. Dalam hal ini, literasi digital menjadi amat penting. Jangan menelan mentah-mentah informasi yang kita dapat dari media online, kita harus betul-betul pahami dulu informasi tersebut, pastikan sumbernya dapat dipercaya, dan cek kebenaran informasi tersebut. Terutama menjelang momentum penting seperti pemilu, kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, atau isu-isu sensitif lainnya, tanggung jawab kita sebagai warga digital harus ditingkatkan.

Dunia maya sejatinya bisa menjadi tempat edukasi, kolaborasi, ruang pengembangan kreativitas, dan penguatan identitas kebangsaan. Namun jika disalahgunakan, ia bisa menjadi senjata pemecah bangsa. Oleh karena itu, sudah saatnya kita semua sebagai warga negara yang baik dan bijak mengambil peran aktif dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat, adil, beretiket, dan bertanggung jawab. Adu domba maya hanya akan berhasil jika kita diam dan ikut menjadi "kompor". Tapi sebagai warga negara yang bijak, kita bisa memilih untuk menjadi penyejuk di tengah panasnya perdebatan digital.

Mari berfikir cerdas, kritis, peduli, objektif dan saling menjaga dengan interaksi yang lebih sehat.

By; Kartika Azari, Mahasiswi Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika

Comment