Opini
Selasa 10 Juni 2025 | 21:37 WIB
Laporan: Khotib
Dampak Teknologi Terhadap Interaksi Sosial dan Kesehatan Mental

Perkembangan teknologi, khususnya media sosial dan smartphone, telah merasuki setiap sendi kehidupan, dan dampaknya paling terasa pada remaja, kelompok usia yang paling rentan terhadap pengaruh eksternal. Opini saya adalah bahwa meskipun teknologi menawarkan konektivitas tanpa batas, penggunaannya yang tidak terkontrol, terutama di kalangan remaja, secara paradoks telah mengikis kualitas interaksi sosial tatap muka dan memperburuk masalah kesehatan mental.
Di satu sisi, teknologi memang menjembatani jarak. Remaja dapat dengan mudah berkomunikasi dengan teman-teman lama, membangun jaringan pertemanan baru secara daring, dan bergabung dengan komunitas yang berbagi minat serupa. Ini bisa menjadi penyelamat bagi mereka yang merasa terisolasi di lingkungan fisik mereka, memberikan rasa memiliki dan dukungan yang mungkin sulit ditemukan di dunia nyata. Berita dan informasi menyebar dengan cepat, memungkinkan remaja untuk lebih sadar akan isu-isu sosial dan global, bahkan memobilisasi gerakan untuk perubahan. Namun, janji konektivitas ini seringkali datang dengan harga yang mahal.
Kita menyaksikan semakin banyak remaja yang, alih-alih terlibat dalam percakapan mendalam dengan orang di samping mereka, justru terpaku pada layar ponselnya. Fenomena "phubbing" (phone snubbing) ini menjadi pemandangan umum, mengikis nilai interaksi tatap muka yang kaya akan nuansa non-verbal ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh yang esensial untuk membangun empati dan pemahaman mendalam. Hubungan daring, meskipun menawarkan kuantitas, seringkali kurang memiliki kedalaman emosional dibandingkan interaksi langsung. Hal ini dapat menyebabkan remaja merasa kesepian di tengah keramaian, seolah terhubung dengan banyak orang namun tidak benar-benar merasa dipahami.
Lebih jauh lagi, media sosial telah menjadi medan perang psikologis bagi banyak remaja. Platform-platform ini mendorong kurasi diri yang ekstrem, di mana setiap orang berusaha menampilkan versi terbaik, paling bahagia, dan paling sukses dari diri mereka. Remaja, yang sedang dalam tahap pencarian identitas dan rawan perbandingan sosial, seringkali terjebak dalam perangkap ini. Mereka melihat "highlight reel" kehidupan teman-teman mereka dan membandingkannya dengan "behind the scenes" kehidupan mereka sendiri yang penuh ketidaksempurnaan. Hal ini memicu kecemasan, rasa tidak aman, dan rendah diri. Tekanan untuk selalu "online," takut ketinggalan (FOMO - Fear of Missing Out), dan validasi dari likes atau komentar bisa sangat membebani. Sebuah studi menunjukkan korelasi antara penggunaan media sosial yang berlebihan dan peningkatan tingkat depresi, kecemasan, serta masalah citra tubuh di kalangan remaja.
Belum lagi masalah cyberbullying, di mana anonimitas yang ditawarkan dunia maya memberanikan pelaku untuk melancarkan serangan verbal atau psikologis tanpa konsekuensi langsung. Dampak cyberbullying bisa lebih menghancurkan daripada bullying fisik karena sifatnya yang terus-menerus dan jangkauannya yang luas, membuat korban sulit melarikan diri.
Meskipun teknologi adalah alat yang kuat, kita perlu mengakui bahwa penggunaannya tanpa bimbingan dan kesadaran dapat menjadi pedang bermata dua bagi remaja. Penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengajarkan literasi digital, pemanfaatan teknologi yang sehat, dan pentingnya menyeimbangkan dunia daring dengan interaksi dunia nyata. Kesehatan mental remaja adalah investasi jangka panjang, dan kita tidak bisa membiarkan teknologi tanpa kendali menggerogotinya.
By; Muhamad Rafli Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika
Comment