Opini

Kamis 05 Desember 2024 | 14:22 WIB

Laporan: Sugiyo, S.Pd., M.Pd.

Menikah

Dokumentasi Pribadi

Jumat, 29 November 2024 kemarin saya dan istri menjadi saksi nikah di Kapel Stella Maris Puit, Jakarta Utara. Entah kenapa saya jadi ingat kisah Raja Dusmanta dan Syakuntala dalam kisah Epos Mahabarata. Di bab ini paling tidak kita diajarkan melalui tokoh Syakuntala, sosok perempuan yang mengajarkan pada remaja perempuan dan para orang tua bagaimana harus menyikapi sebuah lamaran.

Cek Kosong

Dari lima perempuan cerai yang saya ajak bicara semua harus menghidupi anak yang mereka tanpa santunan dari mantan suami. Meskipun dalam kesepakatan cerai mereka menyepakati mau membayar uang pendidikan sampai kuliah dan memberi nafkah. Tapi faktanya, nihil. Memang mereka mendapat harta dari pembagian gono-gini. Semua tidak berbekas untuk kontrak tempat tinggal atau membayar uang muka kredit rumah. Kesepakatan sebelum perceraian itu akhirnya tinggal selembar kertas saja. Pihak perempuan malas untuk menuntut dan memilih diam. Buat apa menghubungi dan menuntut kalau tidak ada hasil, yang muncul pertengkaran dan melukai hati. Diam dan terus berusaha sendiri menjadi pilihannya.

Mengapa ini terjadi? Calon mempelai khususnya pihak perempuan hanya membawa cek kosong. Sayang cek kosong itu baru diisi setelah mereka cerai. Dan hasilnya kita ketahui sebagian besar janda dan anak jadi korban. Hidup mereka jauh dari sejahtera. Lantas harus bagaimana?

Perjanjian Pranikah

Mahabarata syarat dengan nilai pendidikan dan karakter. Salah satunya perjanjian pranikah lewat para tokoh Syakuntala, Dewi Gangga, dan ayah dari Setyawati. Resi Wyasa tahu persis sifat manusia mudah ingkar dan lupa  khususnya kaum Adam. Untuk itu para tokoh itu diobyekan oleh Resi Wyasa untuk memberi pembelajaran bagaimana seharusnya menyikapi sebuah pernikahan dengan adanya tabiat kaum lelaki yang gemar ingkar dan lupa akan janji.

Syakuntala tahu betul Raja Dusmanta jatuh cinta padanya. Cinta yang dilatarbelakangki pemenuhan nafsu birahi. Peluang itu ia pergunakan dengan baik demi masa depan keturunannya. Terucaplah kalimat dari Syakuntala: “Berjanjilah bahwa apa pun yang hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba lahirkan hendaknya kelak menjadi ahli waris kerajaan Paduka. Itulah syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jika Tuanku menerima syarat ini, hamba bersedia menikah sekarang juga.”

Raja Dusmanta sudah dikuasi nafsu birahi. Dia tidak menggunakan akalnya lagi dan langsung berucap: “Baiklah, akan kupenuhi semua permintaanmu!” Justru ia menambahkan, “Aku bahkan bermaksud memboyongmu ke istana setelah kita menikah. Sebagai permaisuriku, sepantasnyalah engkau tinggal di istanaku.”

Puas melepaskan nafsu syawatnya, Raja Dusmanta kembali ke kerajaan dan sebelumnya berjanji akan mengirim seorang utusan untuk menjemputnya.

Apa yang terjadi? Jangankan utusan. Kabar angin pun tidak kunjung berhembus. Bermodalkan janji Raja Dusmanta sebelum pernikahan dan ditemani sang anak laki-laki buah dari hubungan mereka, Syakuntala mendatangi kerajaan. Setelah melewati perdebatan panjang dan bantuan suara gaib dari kayangan, Syakuntala dan anaknya diakui sebagai istri dan putra makhota.

Pun pula pada kasus Dewi Gangga meski pun dengan motif berbeda. Dewi Gangga juga mengajukan perjanjian pranikah agar tujuannya datang di Mayapada dan menjadi istri Sentanu bisa terwujud, yaitu membebaskan para Watsu yang terkena kutup pastu.

Sementara Setyawati berbeda. Begawan Wyasa menggunakan Ayah Setyawati, kepala nelayan,  sebagai objek untuk memuluskan cita-citanya anak dan cucu hidup sejahtera dan naik derajatnya. Hikmah yang bisa diambil oleh kaum remaja perempuan dan para orang tua. Bisa membaca dan belajar dari kisah Cinta Raja Sentanu dan Satyawati. Ketika anak perempuan pasif, tidak membuat kesepatan dengan calon suami, orang tua harus  peka dan berani membuat perjanjian pranikah dengan calon menantu pria.

Ayah Setyawati begitu menerima pinangan Raja Sentanu berkata, “Hamba tidak keberatan jika anak hamba Paduka persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus

berjanji.”

Kata Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kauajukan, aku akan memenuhinya.”

Kepala kampung nelayan itu memohon, “Jika anak hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak setelahPaduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan kerajaan ini kepadanya.”

Pernikahan terjadi meskipun lewat pengorbanan Dewabrata. Dan terwujudah impian Ayah Setyawati. Cucunya menjadi Raja Hastinapura sampai melahirkan keturunan Kurawa dan Pandawa.

Calon mempelai wanita dan para orang tua harus belajar dari ketiga kisah tokoh ini Tentu ketika mengajukan perjanjian pranikah harus sesuai dengan status sosial dan konteks hari ini. Misal, sepasang mahasiswa menjalin cinta. Ketika lelaki melamar ajukan syarat yang realistis. “Saya bersedia menikah asalkan Mas sudah lulus dan bekerja.” Atau kalau sedikit nakal boleh ditambahkan memiliki rumah meskipun kredit dan atas nama calon mempelai wanita.

Beberapa kasus saya temui sepasang mahasiswa tiba-tiba melangsungkan pernikahan karena kasus hamil di luar nikah. Satu-dua pasangan itu akhirnya cerai selain belum lulus mereka belum bekerja. Di sini pentingnya membaca Mahabarata dan belajar dari Syakuntala. Nafsu boleh tetapi Syakuntala tetap menggunakan akalnya. Siapa yang tidak ingin dinikai seorang Raja (baca orang berpangkat/crazy rich)  zaman sekarang. Seandainya perempuan ikut-ikutan mengedepankan nafsu yang dirugikan perempuan dan anak.

Raja Dusmanta sudah berjanji saja tidak mau mengakui kesepekatan yang telah dibuat apalagi tanpa perjanjian pranikah.  

Dari kisah ketiga tokoh di atas, Mahabarata  mengajarkan bahwa perjanjian pranikah itu suatu kebutuhan. Bukan sesuatu hal yang tabu. Masak di zaman modern masih ada calon mempelai wanita tidak mau belajar dari kasus Syakuntala, khususnya dan korban di sekitar kita. Bagaimana dengan Anda?

Comment