Pendidikan

Rabu 28 Juni 2023 | 11:08 WIB

Laporan: Alif

Jaga Psikologi Anak, Dosen Psikologi Uhamka Tanggapi dampak Perceraian

dokumentasi uhamka

Rumah tangga Desta dan Natasya Rizky telah resmi berpisah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada Senin (19/6) lalu. Pernikahan Desta dan Natasya dikaruniai tiga buah hati yang akan tetap dinafkahi per bulan sampai mereka dewasa dan mandiri. Nama mereka diantaranya adalah Megumi, Miskha, dan Miguel.  Keduanya tidak mempermasalahkan hak asuh, meskipun pengadilan sepakat memberikan hak asuh untuk Natasya Rizky, Desta tetap diizinkan bertemu anak-anaknya.

Meskipun keduanya tetap membesarkan anak bersama secara terpisah, tetap saja anak-anak mereka akan terkena dampak psikologi dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Seringkali orang tua menganggap asal pengaturan pertemuan ayah dan ibu dilakukan dengan baik, maka anak tidak akan merasakan perubahan apapun. Nyatanya perubahan situasi dimana awalnya anak berkumpul dan selalu melihat kedua orangtuanya, menjadi lebih sering bertemu dengan salah satu dari keduanya tentu memunculkan perasaan tidak nyaman pada diri anak.

Dalam kasus ini, Dewi Trihandayani selaku Dosen Psikologi Uhamka menanggapi bahwa hampir tiap agama dan keyakinan berpendapat bahwa perceraian bukanlah hal yang baik dan merupakan hal yang dibenci. Namun demikian perceraian bukan tidak dibolehkan. Keputusan bercerai perlu diambil dengan pertimbangan yang matang. Perceraian sering kali memberikan dampak pada kondisi sosial ekonomi pada salah satu pihak.  Peran ayah sebagai model, pendidik, pelindung dan memberikan jaminan ekonomi mungkin tidak berfungsi dengan maksimal. Oleh sebab itu perceraian dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi seluruh anggota keluarga.

"Dampak positif dari adanya perceraian bagi anak antara lain adalah  adanya perasaan lega. Ayah atau ibu  yang tidak dapat menjadi contoh perilaku dan moral bagi, serta kurang mampu mencurahkan kasih sayang dengan tepat akan memunculkan perasaan tertekan pada anak. Saat perceraian terjadi maka anak seolah-olah terlepas dari dampak buruk dari ucapan kasar akibat pertengkaran yang tidak berkesudahan. Anak juga terbebas dari perilaku kasar yang mungkin dilakukan oleh salah satu orangtua. Terlepasnya anak dari efek negatif seperti perilaku abusive, dan pola komunikasi yang tidak sehat, memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar mengembangkan dirinya dengan lebih baik pada lingkungan yang lebih suportive," tutur Dewi.

Dewi lebih dalam menjelaskan, terlepas dari dampak positif yang ada, perceraian juga dapat memberikan dampak buruk bagi anak. Khususnya anak yang berusia dibawah 12 tahun. Anak berusia dibawah 6-12 tahun, mereka mulai mampu berpikir logis , namun masih terbatas pada hal-hal yang kongkret atau yang mampu diamati oleh mereka saja.  Mereka mulai dapat mengelompokan sesuatu itu baik/buruk berdasarkan pengamatan terhadap lingkungan sekitar. Sementara perceraian melibatkan hal abstrak yang belum mampu dicerna oleh usia 6-12 tahun ini. Oleh karena itu perceraian sering kali memunculkan perasaan bersalah, marah dan sedih pada usia ini. Anak-anak pada usia ini merasa bahwa perceraian orangtua mereka berhubungan dengan adanya perilaku mereka yang tidak sesuai dengan harapan orangtua. Lebih lanjut kondisi ini juga mempengaruhi kepercayaan diri anak dan prestasi akademik anak.

"Untuk meminimalisir pengaruh buruk dari perceraian yang ada, orangtua perlu menjalin komunikasi yang baik terkait pengasuhan anak. Kedua orangtua pun perlu terlibat dalam perkembangan anak. Komunikasi yang baik antara ayah dan ibu lambat laun akan merubah persepsi negatif anak terhadap dirinya sendiri. Adanya sikap saling menghormati antar ayah dan ibu membuat anak lambat laun memahami bahwa ia bukanlah penyebab dari perceraian tersebut. Perceraian terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara ayah dan ibu yang tidak dapat lagi di kompromikan," ujar Dewi.

Menurut Dewi, kasih sayang yang dicurahkan pada anak dari keluarga kedua belah pihak, akan membantu anak mengatasi perasaan bersalah, marah dan kesedihan yang ada. Bantuan guru juga cukup bermakna untuk membantu anak beradaptasi dengan lingkungan sekolah setelah perceraian orangtua. Keluarga besar (kakek/nenek, om/tante ) dan guru yang berperan sebagai pengganti orangtua pada masa sulit ini akan membantu anak untuk tetap memiliki motivasi belajar yang baik.

"Terkadang berkonsultasi dengan profesional juga diperlukan untuk membantu adaptasi terhadap perubahan yang ada akibat perceraian ini. Perasaan tidak berdaya terkadang muncul dan mengakibatkan kesedihan yang berkepanjangan sehingga mengganggu keseharian salah satu anggota keluarga. Psikolog/konselor akan membantu agar subyek menemukan kembali dirinya dan menyadari kelemahan dan kekuatan yang dimiliki untuk bangkit dari keterpurukan," pungkas Dewi.

Mari bergabung bersama Psikologi Uhamka yang menanggapi isu-isu terkini terkait psikologi manusia. Uhamka juga telah terakreditasi UNGGUL dengan memiliki 9 Fakultas dan Sekolah Pascasarjana, selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut https://uhamka.ac.id/reg/ dan https://pmb.uhamka.ac.id/

Comment