Peristiwa
Senin 29 Februari 2016 | 10:28 WIB
Laporan: Amir Fiqi
Komunitas Pecinta Sawit Deklarasikan Kelangsungan Kelapa Sawit di Indonesia
Medan, Visione.co.id- Kelapa sawit merupakan satu penopang kemakmuran perekonomian bagi masyarakat di Indonesia, selain sawit bisa tumbuh subur, kualitasnya juga asal tanah air diakui dunia. Bahkan, kualitas sawit Indonesia bisa mengalahkan sumber kelapa sawit dunia yakni Afrika.
Guna menjaga kelangsungan sawit di Indonesia, dan pasarnya tidak terganggu di dunia, sejumlah praktisi, akademisi dan penggiat sosial serta masyarakat mendeklarasikan Komunitas Pecinta Sawit di Aula Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (25/2).
Koordinator Komunitas Pecinta Sawit, Prof. Erwin Masrul Harahap mengatakan, setiap wilayah diberikan kecocokan masing-masing untuk menanam. Di Indonesia, kecocokannya untuk menanam kelapa sawit, sehingga sejak keberadaan sawit pada 1911 atau sekitar 100-an tahun silam, kualitas sawit di Indonesia menjadi yang terbaik di dunia mengalahkan daerah asalnya Afrika.
“Sawit ini merupakan anugeran dan rahmat dari Tuhan yang diberikan kepada masyarakat di Indonesia. Maka dari itu dengan niat menyebarkan pengetahuan tentang kelapa sawit beserta turunannya, maka kami deklarasikan komunitas pecinta sawit,” katanya saat membacakan deklarasi tersebut.
Tak hanya itu, Erwin menyampaikan, Komunitas Pecinta Sawit memiliki tag line Palm Oil for Prosperity (Kelapa Sawit untuk Kemakmuran). Dapat dilihat saat ini, jumlah luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11 juta hektare, pada 2020 diperkirakan akan menjadi 20 juta hektare. Hal ini menunjukkan kelapa sawit menjadi satu penopang perekonomian tanah air, untuk itulah kita sama-sama harus menjaga demi kemakmuran suatu bangsa.
Dia mengatakan, kondisi tersebut membuat pihak luar negeri khawatir terhadap tanaman sawit di Indonesia. Karena itu, pihak asing berusaha melumpuhkan industri sawit yang tumbuh subur ini.
“"Pihak Negara luar terus melakukan upaya mematikan industri sawit di Indonesia, salah satunya dengan black campaign yang dianggap sebagai mitos. Bahkan, diperparah lagi black campaign tersebut menyebut tanaman sawit sebagai malapetaka. Namun, pada kenyataannya mitos atau pendapat negatif terhadap sawit kita ini tidak benar,” cetusnya.
Erwin menyebutkan, seorang penulis buku Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global, Dr Ir Tungkot Sipayung memaparkan ada empat sumber minyak nabati yang saat ini diproduksi masal, minyak sawit, kedelai, rapeseed dan bunga matahari. Ia mencatat, angka konsumsi terhadap minyak pada tahun 2014 mencapai 145,3 juta ton.
Dari empat sumber minyak nabati itu, minyak sawit mengalami peningkatan dari 1965 dimulai 16 persen menjadi 42 persen pada 2014, sedangkan minyak kedelai dari 65 persen pada 1965 mengalami penurunan menjadi 32 persen pada 2014, selanjutnya minyak lainnya seperti minyak rapeseed jumlah konsumsinya sebanyak 16 persen dan minyak bunga matahari sebanyak 10 persen.
“Dari jumlah konsumsinya, pasar sawit masih menjanjikan di dunia. Bahkan, masih menjadi peluang yang baik sebagai penopang perekonomian,” ujarnya.
Dia menambahkan, dengan terbentuknya Komunitas Pecinta Sawit semoga dapat memperhatikan industri sawit di tanah air. Karena, Indonesia memiliki potensi sawit sangat besar dengan lahan yang luas. Mudah-mudahan dengan terbentuknya komunitas ini akan lahir pemerhati sawit, sehingga semakin perekonomian Indonesia semakin maju dan berkembang.
Acara deklarasi yang diisi dengan acara bedah buku Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global menghadirkan sejumlah pembicara seperti penulis buku tersebut Dr Ir Tungkot Sipayung, Prof DR Ir Abdul Rauf MSi.
Tungkot yang juga Direktur Palm Oil Agribisnis Strategic Policy Institute mengatakan, pendapatan petani sawit plasma dan swadaya jauh lebih tinggi dibandingkan petani non sawit. Perbandingannya petani non sawit di kisaran Rp20 juta per tahun, sedangkan kelapa sawit plasma dan swadaya diangka Rp130 juta per tahun pada tahun 2013.
Sementara itu, secara mitos lingkungan paparnya, pemanasan global dan perubahan iklim global disebabkan Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Padahal, pemanasan global disebabkan meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca global akibat emisi gas rumah kaca berlebihan.
Di tempat yang sama, Staf Pengajar Konservasi Tanah dan Pengelolaan DAS Fakultas Pertanian USU Prof Dr Ir Abdul Rauf MSi mengatakan, pohon kelapa sawit lebih baik dalam hal mengantar distribusi bahan organik ke dalam tanah hingga kedalaman 100 cm, sedangkan pohon lain hanya 30 cm.
Sementara itu, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumut, Timbas Prasad Ginting mengatakan, hingga sekarang 'kampanye hitam' masih terus dilakukan berbagai elemen dari beberapa negara. Seperti awal tahun ini ada beredar makanan ringan dari Italia bertuliskan palm oil free yang sudah beredar di Jakarta.
"Kami minta instansi terkait terutama Badan Pengawas Peredaran Obat dan Makanan (BPPOM) untuk mencabut izin perusahaan itu. Karena, tulisan palm oil free pada bagian depan bungkusan merupakan bentuk kampanye hitam," ujarnya saat diwawancarai pada acara Deklarasi Komunitas Pencinta Sawit di USU.
Comment