Opini
Jumat 19 Februari 2016 | 12:01 WIB
Laporan: Raka Bumi
Episode Terakhir Pemberantasan Korupsi

Realitas kehidupan sosial paling mutakhir memang ruwet, saking ruwetnya, terkadang tidak bisa dijelaskan dengan analisa sosial yang telah lazim, alih-alih sangat sulit untuk mengatasi ketakteraturan tatanan kehidupan sosial tersebut. Korupsi, kemiskinan dan penganguran misalnya, merupakan contoh dari keruwetan yang tidak bisa dijelaskan dengan paradigma sosiologi biasa yang telah mapan. Diperlukan sebuah upaya radikal yang tentu saja dapat mengancam kesucian dan keabsahan.
Sebagai fakta sosial, korupsi, kemiskinan dan penganguran merupakan konstruksi sosial yang muncul sebagai akibat dari adanya gap antara fenomena sosial objektif (aktor, tindakan, sistem birokrasi dan hukum) dengan fenomena sosial subjektif (proses mental, nilai dan konstruksi sosial tentang realitas). Makanya tidak mungkin kita bisa memahami korupsi, pengangguran ataupun kemiskinan sebagai masalah sosial, alih-alih mencari jalan penyelesaiannya, bila pemahaman kita akan kontinum-kontinum tersebut—meminjam istilah George Ritzer—masih terfragmentasi. Se-religius atau se-liberal apapun bila pemahaman kita masih partikular maka, realitas sosial akan sangat jauh dari harapan. Celakanya banyak teoretisi, ulama, intelektual dan birokrat yang masih sangat sulit untuk menerima kenyataan tersebut.
Tindakan Kolektif
Dalam masyarakat anonim yang super kompleks seperti di negara kita, Pemerintah dan proses politik yang mengatur tatanan sosial sering memiliki keterbatasan akibat dari problem institutional dan gap sosial tersebut di atas, terutama sangat kentara dalam proses penyelesaian kasus korupsi BLBI, Bail out Bank Century dan kemiskinan di beberapa daerah yang tak kunjung selesai.
Sementara masyarakat yang menekankan individualisme dan bersandar pada Filsafat barat terlampau menyederhanakan masalah sosial, merendahkan adanya potensi aktivitas non penguasa dan korporasi sebagai akibat dari semakin berkurangnya ruang-ruang yang sebelumnya hanya dimungkinkan melalui tindakan-tindakan kolektif. Padahal, sejatinya menegakan hukum dan ketertiban merupakan pekerjaan pertama yang harus dilakukan setiap pemerintahan manapun.
Dalam kondisi seperti itulah Ormas, LSM dan kelompok masyarakat lainnya diharapkan berperan kritis, tidak hanya dalam menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat namun juga ikut memberikan layanan dan kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan tindakan kolektif (Check and balanching), karena ternyata ada kebutuhan bagi tindakan kolektif yang melampaui pemerintah dan pasar (penguasa dan korporat).
Disinilah signifikansi dari peran sejumlah ormas guna melahirkan tindakan-tindakan kolektif yang real untuk menekan pemerintah dan para koorporat. Meskipun memiliki perbedaan dalam hal kekuatannya untuk menekan, karena tindakan kolektif yang dilakukannya hanyalah tindakan kolektif sukarela yang sering mengalami kegagalan dalam menghentikan hasrat (desire) para koruptor, tindakan kolektif non-pemerintah yang dilakukan Ormas maupun LSM harus mati-matian diperjuangkan, apalagi pada saat triliunan uang dipertaruhkan. Jumlah yang tidak sedikit, yang sebetulnya bisa menyelesaikan tiga akar persoalan yang melahirkan bencana dan kemunkaran sosial yaitu kemiskinan, pengangguran dan korupsi.
Pasalnya bahwa, pertempuran yang selama ini dilakukan pemerintah dalam melawan korupsi hanyalah pertempuran kecil yang dilakukan di pinggiran permasalahan yang sebetulnya cukup besar dan mengakar. Parahnya lagi, pemberantasan korupsi seakan tak pernah lepas dari hasil politicking yang dilakukan para penguasa dan stakeholdernya (corporate).
Tentu saja pertempuran-pertempuran kecil tersebut selalu bisa dimenangkan pihak penguasa, meski terkadang dengan konsekuensi politik yang berbeda karena adanya tarik ulur dan intervensi politik yang dilakukan oleh partai politik yang telah berafiliasi dengan sejumlah pengusaha yang mendonornya.
Kembali ke titik nol
Oleh karena itulah penting untuk sejumlah kekuatan civil society untuk tak sekadar mendeklarasikan gerakan ”Jihad melawan korupsi” namun secara nyata melawan korupsi. Karena nyata-nyata setelah upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dinahkodai telah mengalami pelemahan. Celakanya, mulai ada keengganan dari banyak pihak untuk kembali ambil bagian dalam upaya pemberantasan korupsi. karena alih-alih meraih penghargaan atas upaya tersebut, mereka malah diemahkan dan dikriminalisasi.
Karena upaya tersebut merupakan visi universal (common enemy) yang oleh siapapun akan dianggap sebagai keharusan,maka meminjam tesis Sigmund Freud, bahwa “setiap bagian yang kembali dari alam lupa (yang dikekang) mendesakan diri dengan kekuatan istimewa, memberikan pengaruh yang tidak nyata kuatnya pada diri orang dalam suatu massa dan menjungjung tinggi klaim tak tertahankan. Dimana keberatan-keberatan logis tinggal tak berdaya.”
Tak dapat dipungkiri, bila ormas, LSM dan kelompok masyarakat yang mengalami fragmentasi pasca KPK dilemahkan, harus kembali bersatu melawan korupsi. Upaya ini harus dimaknai sebagai manifestasi dari pemaknaan anti neo-liberalisme yang selama ini banyak didengungkan kelompok ormas dan LSM yang saat ini menemukan momentumnya kembali. Hingga tindakan kolektif yang lahir dari potensi non-penguasa dan pengusaha kemudian memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan yang dilahirkan oleh penguasa sendiri, mengingat aroma krisis legitimasi atas penguasa yang pro-pengusaha kini semakin menyengat dan kian tak terbantahkan.
Akhirnya penulispun yakin dan menaruh harapan yang teramat besar bahwa, dari reaksi-reaksi yang ada, kali ini kita benar-benar berada dalam episode lain dari apa yang oleh Alberth Hirscman cetuskan sebagai shifting Involvements, bahwa dalam setiap episode kemasyaratan akan disusul oleh penitikberatan pada aras privat (Individual activity), yang pada gilirannya akan disusul oleh episode lain yang lebih bersifat kemasyarakatan (social activity).
Masing-masing dari aras dan orientasi tersebut pada dasarnya memilki keterbatasannya sendiri-sendiri, namun paling tidak hanya dengan melewatinya kita baru bisa memahami keterbatasannya sembari mengambil ibrah dari keduanya. Karena walau bagaimanapun bencana dan kemunkaran sosial (korupsi, kemiskinan dan pengangguran) hanya mungkin dapat diatasi dan diperangi baik secara tertutup ataupun terbuka oleh orang-orang yang tidak hanya bernaung di bawah aras privat ansich, tapi juga aras publik atau apa yang dalam bahasa agama dikenal sebagai saleh secara individual dan saleh secara sosial. [ ]
Comment