Opini

Rabu 27 Agustus 2025 | 19:36 WIB

Laporan: Study Rizal LK

Amnesti dan Abolisi di Balik Tabir Korupsi

dok pribadi

Korupsi di negeri ini tidak pernah benar-benar lenyap. Ia seperti rumput liar yang dipangkas di satu sisi, tumbuh lagi di sisi lain. Bahkan, ketika lembaga antikorupsi dibentuk, regulasi diperketat, dan jargon pemberantasan korupsi digelorakan, tetap saja praktiknya berlangsung seolah tanpa malu. Di tengah situasi seperti itu, muncul jalan pintas hukum yang sering mengundang tanya: amnesti dan abolisi.

Dua istilah ini, yang sejatinya berfungsi untuk kepentingan kemanusiaan atau rekonsiliasi, kerap berubah wajah menjadi pintu darurat bagi mereka yang berurusan dengan kasus besar, termasuk korupsi. Publik pun sering bertanya: apakah hukum sedang ditegakkan, ataukah sekadar menjadi alat transaksi? Pertanyaan ini menggelayut, sebab di balik tabir korupsi, kita menyaksikan permainan yang begitu halus namun terasa getir: kepentingan politik menunggangi hukum, dan keadilan menjadi korban.

Sebagai sebuah catatan dari tradisi Mazhab Ciputat, korupsi tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran hukum positif. Ia adalah problem etika publik, krisis moral, bahkan penyakit sosial yang menular. Harun Nasution pernah mengajarkan pentingnya rasionalitas dalam membaca kehidupan. Dalam konteks hari ini, nalar sehat menuntut kita untuk bertanya: bagaimana mungkin kejahatan yang merugikan rakyat banyak bisa disapu bersih hanya dengan selembar keputusan amnesti atau abolisi?

Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa politik praktis kerap menggoda agama dan moralitas publik untuk dijadikan alat. Bila logika itu kita tarik ke ranah hukum, kita bisa melihat betapa rentannya instrumen seperti amnesti dan abolisi dipakai demi melindungi kepentingan segelintir orang. Korupsi yang seharusnya dianggap kejahatan luar biasa, malah diperlakukan dengan kelonggaran yang tidak masuk akal.

Azyumardi Azra sering menekankan pentingnya tata kelola yang baik dan integritas dalam politik. Baginya, korupsi bukan sekadar soal hukum, melainkan ancaman serius terhadap legitimasi negara. Jika amnesti dan abolisi terus digunakan sebagai alat kompromi, maka yang hancur bukan hanya aturan hukum, tetapi juga kepercayaan rakyat. Dan Bahtiar Effendy mengingatkan kita tentang demokrasi substansial—bahwa demokrasi sejati hanya mungkin bila hukum berdiri tegak, bukan tunduk pada kekuasaan.

Catatan Mazhab Ciputat ini pada akhirnya ingin menyingkap tabir: bahwa amnesti dan abolisi, sejauh menyangkut korupsi, lebih sering menjadi problem ketimbang solusi. Ia bisa berarti pengkhianatan terhadap rasa keadilan, dan pada titik itu, bangsa ini sedang mempertaruhkan masa depannya sendiri.

Korupsi, dalam catatan ini, bukan hanya soal uang yang digelapkan, tetapi juga soal keadaban yang dilecehkan. Jika hukum terus dimainkan dengan tabir kepentingan, maka demokrasi kita hanya tinggal nama. Dari Ciputat, kita belajar untuk selalu kritis, menjaga akal sehat, dan menegaskan bahwa keadilan tidak boleh ditukar dengan politik sesaat. (srlk)

* Penulis adalah pelintas pemikiran Mazhab Ciputat, meniti batas antara langit Islam dan bumi Indonesia. Saat ini mengajar di FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TAG BERITA

Comment