Opini

Kamis 05 Juni 2025 | 20:40 WIB

Laporan: Khotib

Ketika Dunia Maya Kehilangan Adab

Muhammad Dicky Fadhillah (Istimewa)

Di era digital saat ini, game online telah menjadi bagian integral dari kehidupan dunia maya, terutama bagi generasi muda. Namun, di balik keseruan dan tantangan yang ditawarkan oleh game online, muncul fenomena yang cukup memprihatinkan sebut saja dengan istilah “perilaku tidak beradab” seperti ujaran kebencian, penghinaan, rasisme, dan perilaku toxic lainnya. Fenomena ini mencerminkan krisis etika di dunia maya yang, jika dibiarkan, dapat merusak tatanan sosial dan moral masyarakat, terutama generasi penerus bangsa.

Salah satu faktor utama yang mendorong perilaku negatif di dunia game online adalah sifat anonim dari platform tersebut. Ketika identitas disembunyikan, banyak pengguna merasa bebas bertindak tanpa memikirkan dampak dari perbuatannya. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai moral dan etika, yang seharusnya menjadi landasan dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berinteraksi di dunia digital. Setiap sila dalam Pancasila mengajarkan kita untuk menghormati sesama, menjaga persatuan, dan bertindak adil. Sayangnya, perilaku yang ditunjukkan di komunitas game sering kali bertolak belakang dengan nilai-nilai tersebut, yang menandakan bahwa Pancasila belum sepenuhnya dihayati dan diterapkan.

Perilaku tidak beradab di dunia maya tidak hanya berdampak pada individu yang menjadi korban, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi seluruh komunitas. Hal ini dapat menyebabkan stres, isolasi sosial, bahkan gangguan kesehatan mental. Selain itu, normalisasi perilaku negatif dapat merembet ke kehidupan sehari-hari dan secara perlahan mengikis nilai etika dan moral dalam masyarakat, baik di dunia nyata maupun maya.

Untuk mengatasi krisis etika di dunia maya, terutama dalam komunitas game online, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Pendidikan karakter sejak dini menjadi langkah awal yang penting, dengan mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dan etika digital ke dalam kurikulum. Hal ini membantu generasi muda membedakan antara kebebasan berekspresi dan tindakan tidak beradab. Peran orang tua dan komunitas pun tak kalah penting; mereka harus hadir sebagai pendamping aktif dalam kehidupan digital anak-anak, memberi teladan, dan menjadi tempat diskusi terbuka saat terjadi konflik. Penyedia platform game online juga perlu menetapkan sanksi tegas terhadap perilaku toxic, melalui sistem pelaporan yang jelas dan adil. Kampanye kesadaran publik tentang etika digital perlu digalakkan secara masif oleh pemerintah, tokoh masyarakat, dan influencer digital.

Krisis adab di dunia maya, khususnya dalam komunitas game online, merupakan cerminan dari tantangan dalam menginternalisasi nilai-nilai luhur bangsa. Dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas moral, kita dapat membangun kembali keadaban digital dan menciptakan lingkungan yang sehat, inklusif, dan penuh toleransi. Sudah saatnya kita mengambil langkah konkret untuk mengembalikan etika dan sopan santun dalam setiap interaksi, baik di dunia nyata maupun maya.

Ingat…"Kemerdekaan berbicara bukan berarti kebebasan menghina. Etika adalah pagar tak terlihat yang menjaga kebebasan tetap bermartabat"

By; Muhammad Dicky Fadhillah (Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Teknik Informatika)

Comment