Opini

Selasa 16 Oktober 2018 | 14:16 WIB

Laporan: Soegeng Riyanto

Rehumanisasi Pendidikan

Soegeng Riyanto, Praktisi pendidikan. Purna Pemuda sarjana penggerak pembangunan di perdesaan XXIV. Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Pendidikan adalah sebuah sistem yang bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kebudayaan. Sistem pendidikan itu sendiri bermulai pada 9 abad SM di kota Spartan Yunani. Pada awalnya pendidikan hanya bertujuan untuk melatih para senator berbicara didepan umum. Bahasa pendidikan untuk sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Paedagogiek yang diambil dari sebuah tugas yang diemban oleh orang dewasa untuk mengantarkan anak kesekolah-sekolah.

Perkembangan pendidikan fase awal rupanya begitu pesat dan menjadi diskusi serius pada saat itu. Pendidikan yang awalnya hanya bertujuan untuk melatih berbicara para calon senator. Ditangan para filusuf era yunani klasik dijadikan sebuah alat untuk menumbuhkan kesadaran baru, memperkenalkan sebuah ide atau mengkaji sebuah fenomena yang hadir ditengah masyarakat. Fungsi pendidikanpun mulai terang yaitu memberbaiki sebuah kebudayaan atau mempertahankan kebudayaan yang dianggap baik. Dasar pendidikan yang hanya bertujuan pada skill berubah menjadi sebuah upaya terencana mencapai sebuah tujuan tertentu.

Azas pendidikan yang berorientasi pada humanisme atau “kemanusiaan” meletakan manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan. Pendidikanpun bertujuan untuk meningkatkan harkat manusia menjadi manusia “seutuhnya”. Pendidikan mengakui dan mempelajari hak dan tanggungjawab sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang dibekali dengan rasa ingin tahu. Keingin tahuan ini terekspresikan dalam beberapa prilaku. Seorang anak manusia yang memiliki kemampuan dan dididik dalam kecapakan bahasa, ia akan mengeksprsikannya melalui sebuah pertanyaan.

Seorang anak manusia yang dididik dengan mengutaman pengalaman langsung akan mengekspresiaknyanya melalui sebuah pengamatan dan penelitian kecil. Keragaman krakter ini yang harusnya dapat diperdalam oleh seorang pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Mempertimbangkan kemampuan dasar siswa akan sangat berpengaruh untuk mencapai tujuan utama yaitu menambah pengetahuan baru atau melatih siswa dalam hal tertentu. Yang tidak kalah pentingnya adalah mengakui dan menghormati pengetahuan awal seorang anak.

Dalam konsep pendidikan kita sering mengenal pendekatan paedagogiek dan andragogie.

Paedagoiek lebih diartikan sebagai pendekatan pada usia anak-anak. Dan andragogie sering diartikan sebagai pendidikan orang dewasa yang mengutamakan diskusi serta bertukar sudut pandang. Kenyataan dewasa ini, pendekatan tersebut harus kita koreksi dengan cukup hati-hati. Dalam beberapa teori perkembangan para pakar seringkali mengartikan bahwa pada usia sekolah

dasar seorang anak (usia anak sekolah dasar) mengalami fase rasa ingin tahu, pubertas dan proses pencarian jatidiri.

Pada masa ini anak pada puncak rasa ingin tahu tinggi dan tahap pencarian jatidiri. Seorang guru harus dapat mencermati dengan baik pola tingkah seorang anak. Mana yang menggambarkan rasa ingin tahu dan mana yang merupakan proses pencarian jatidiri. Seorang guru juga harus mampu memberikan apresiasi serta lakukan pengarahan yang bersifat “manusiawi” pada tingkatan tersebut.

Kemampuan seoarang guru dalam memilah serta mengapresiasi pada tahap ini menjadi begitu penting. Mengingat pada tahapan inilah seorang anak memiliki daya ingat yang sangat kuat sebagi bekal saat dewasa nanti. Rasa ingin tahu yang sangat kuat ditunjukan dari intesitas bertanya seorang anak terhadap sesuatu yang ia pikirkan. Selain rasa ingin tahu, pada tahap usia

sekolah dasar juga memilki tingkat imajenasi yang cukup tinggi. Seorang anak akan lebih mengidolakan tokoh superhero yang ia kagumi. Ia akan mengumpamakan diri menjadi seorang yang ia idolakan. Dan pada tahap pencarian jatidiri seorang anak sering kali menonjolkan dirinya

guna mencari simpatik dan perhatiannya lingkungannya. Pada tahap ini seorang anak menjadi lebih narsis, menganggap apa yang telah dilakukannya adalah patut untuk dipuji.

Namun dalam upaya mecapai usaha meningkatkan harkat manusia menjadi manusia “seutuhnya” sering kali manusia hanya dijadikan objek semata baik bagi ilmu pengetahuan ataupun upaya melatih kemapuan manusia tersebut. Hal ini sangat berlawanan jika dikajadi dalam kontek humanism yang mengakui bahwa setiap manusia juga berhak menjadi subjek yang dapat pula melakukan penafsiran atau menemukan metode yang berbeda dalam dunia pendidikan. Hak-hak manusia untuk ingin tahu dan menyampaikan pengetahuan yang dimiliki seringkali terampas dalam dunia pendidikan atas nama peningkatakan kemampuan atau penyampaikan sebuah pengetahuan.

Tindakan dehumanisasi ini dalam dunia pendidikan terlegalkan. Dunia pendidikan yang mengakui hak-hak manusia menjadi wilayah doktriner semata. Dimana pendidik yang juga manusialah yang paling berhak menerapkan tafsir atau menyampaikan ilmu-ilmu yang dimiliki. Sebuah contoh kasus yang sering kita ketahui seorang siswa mengerjakan tugas matematika dengan rumus baru yang agak berbeda dengan guru akan mendapatkan respon kurang menyenakan oleh guru tersebut. Anak tersebut dianggap tidak sesuai dan “salah”. Hal ini menjadi sebuah diskusi harus mendapatkan perhatian khusus perkembangan teknologi yang cepat dewasa ini mempengaruhi tingkat psikologi anak. Maka kurang bijak seorang seorang guru jika masih berpijak pada tahapan psikologi tokoh-tokoh klasik seperti john lock dan lain-lain.

Maka perlu melakukan pengakajian psikolgi terbaru dalam menerapak metode pendidikan yang tepat. Guru seringkal mengagap pendekatan paedagogik sebagai fase yang dokrinter semata. Guru tidak melibatkan fase perkembangan yang sudah dijabarkan diatas. Guru dengan sifat ototitarian melakukan dogmatisasi tanpa memberikan ruang dari rasa ingin tahu, daya imajenasi dan proses pencarian jatidiri seorang siswa. Namun jika kita mengacu pada teori fenomenologi terdapat kontaminasi sesuatu kepada sesuatu, demikian juga sebaliknya. Dalam paedagogi terdapa andragogie dan pada andragogie terdapat pula paedagoie. Semua saling mengkontaminasi antara satu dengan yang lainnya. Jadi tidak mutlak pada usia anak sekolah dasar pendekatan pendidikan dengan gaya paedagogie yang bersifat doktriner. Ada pula ruang diskusi sebagai forum bertukar pikiran akan pemahaman bagi si siswa dan si guru yang itu lebih mencermikan pendekatan andragogie.

Rehumanisasi pendidikan begitulah tema yang diangkat pada tulisan ini adalah upaya mengembalikan hakikat siswa sebagai manusia. Sebagai manusia yang berhak untuk bertanya sebagai tanda rasa ingin tahunya. Sebagai manusia yang berhak mengemukakan pendapatnya sebagai makhluk yang berimjenasi. Dan sebagai manusia yang berhak berekspresi sebagai manusia yang sedang mencari jatidirinya. Lalu bagaimana seorang guru melakukan hukuman atau fanismen kepada siswa yang melakukan pelanggaran?. Pertanyaan ini seringkali dilontarkan dari seorang guru yang putus asa dalam melakukan tugas-tugas pendidikan yaitu memberikan informasi baru ataupun melatih keterampilan. Guru berhak memberikan fanismen yang bersifat manusiawi dengan syarat tidak ada penindasan dan pengekangan kemanusiaan di dalamnya. Dengan artian seorang siswa tau mengapa mendapatkan fanismen, siswa tahu apa fanismennya dan fanismen tersebut lahir dari pilihan sadar siswa tersebut.

Ketika seorang siswa melaksanakan fanismen dengan pilihannya sendiri tentu akan menjadi berbeda efeknya. Siswa tidak akan merasa keberatan jika dihukum, karena ia telah tahu kesalahan dan ia pula yang menentukan fanismen. Hal ini menjadi sebuah ciri pendekatan andragogie pada tahap paedagogie yaitu memberikan ruang diskusi dari setiap kejadian yang hadir. Pada posisi ini seoarang siswa diletakan sebagai sebuah subjek yang memiliki kehendak memilih dan guru hanya menjadi sebuah jembatan seorang siswa memahami sesuatu. Menghadirkan ruang diskusi juga proses belajar juga menjadi titik tekan rehumaniasasi pendidikan. Seorang guru harus mampu mengapresiasi rasa ingin tahu dan hasil imajemasi siswa. Karena pesatnya perkembangan teknologi informasi dan siswa juga mudah mengakses informasi tersebut. Maka seorang guru harus menjadi subjek, siswa juga menjadi subjek sementara informasi adalah objek yang didiskusikan secara bersama.

Sebagai penutup dari tulisan ini adalah guru sebagai subjek pendidik harus meletakan siswa sebagai subjek pula untuk membahas seuatu pengetahuan baru yang ingin disampaikan. Guru patut pula memiliki kecakapan mengapresiasi dan membentuk diskusi terarah dalam sebuah forum belajar.

Penulis adalah Soegeng Riyanto, Praktisi pendidikan. Purna Pemuda sarjana penggerak pembangunan di perdesaan XXIV. Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Comment