Opini

Minggu 28 Februari 2016 | 17:27 WIB

Laporan: Lalu Suhaimi Ismy*

Bom Waktu Revisi UU KPK

Lalu Suhaimi Ismy

Visione.co.id- Pasca estafet kepemimpinan nasional beralih ke Joko Widodo, kegaduhan politik nasional seakan tidak pernah surut. Energi bangsa seakan tidak pernah habis dalam menyikapi dan memikirkan kegaduhan-kegaduhan tersebut. Seperti halnya kegaduhan mengenai revisi RUU KPK.

Pertama kali usulan revisi UU KPK dilontarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly agar dimasukkan dalam prolegnas 2016. Setelah mendapat pertentangan dari berbagai kalangan, baik akademisi dan penggiat anti korupsi, akhirnya pemerintah membatalkan usulan revisi UU KPK pada Oktober 2015. Pemerintah beralasan akan fokus pada persoalan perbaikan kondisi ekonomi nasional. Kendati demikian, usulan revisi UU KPK tidak lantas berhenti.  Sebulan kemudian, revisi UU KPK kembali  menjadi inisiatif DPR .

Ibarat bola, revisi UU KPK ini terus bergulir dan akhirnya masuk dalam usulan prolegnas 2016 atas inisiatif DPR. Lagi-lagi revisi UU tersebut kembali mendapat penolakan dari masyarakat. Berbagai aksi mendukung penguatan lembaga anti rusuah ini tidak bisa dibendung. Mulai dari aksi demontrasi hingga kajian-kajian dalam forum seminar dan workshop. Bahkan Ketua KPK, Agus Raharjo sempat melontarkan ancamnhya akan mengundurkan diri jika revisi UU KPK terus dilanjutkan oleh DPR.

Sebelum polemik penghentian revisi UU KPK terus berkembang dan mempengaruhi perekonomian nasional. Presiden Jokowi dan pimpinan DPR serta beberapa ketua fraksi melakukan pertemuan di Istana Negara pada Senin, 22 Februar 2016. Pertemuan tersebut menyepakati penundaan revisi UU KPK.  Namun tidak mencabutnya dari daftar Prolegnas.  Sebelum dilakukan penudaan, tadinya revisi UU KPK akan dibahas dalam rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 23 Februari 2016.

Aksi solidaritas penghentian revisi UU KPK oleh kalangan masyarakat bukan tanpa alasan. Revisi UU KPK disinyalir akan melemahkan institusi anti rasuah ini. Bagaimana tidak mungkin, semenjak didirikan tahun 2002 pada era pemerintahan Presiden Megawati telah banyak menangkap para koruptor dari berbagai kalangan.  Baik dari penegak hukum, pengusaha, pejabat, dan para politisi Senayan.

Setelah berhasil mentersangkakan pimpinan KPK pada periode sebelumnya, Abraham Samad dan Bambang Widjianto serta penyidiknya Novel Baswedan. Kini, pintu pelemahan KPK dilakukan melalui revisi UU KPK.  Bagi rakyat yang telah benci dan muak terhadap perilaku pemimpinnya yang korup, tentu merasa kecewa dan marah apabila revisi UU KPK disinyalir akan melemahkan lembaga tersebut.

Mengapa Ditunda?

Keputusan pemerintah dan DPR menunda revisi UU KPK kembali akan menjadi polemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, pembahasan revisi UU KPK sewaktu-waktu dapat dilanjutkan karena masih terdaftar dalam Prolegnas. Ibarat bom waktu, revisi UU KPK secara tiba-tiba akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR dan Pemerintah yang akan berujung pada penolakan oleh masyarakat yang ingin mempertahankan eksitensi KPK sebagai lembaga superbody.

Penolakan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat memiki alasan yang kuat. Pasalnya dalam draft revisi UU KPK terdaapat pasal-pasal yang akan melemahkan kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh berbagai  media, pasal-pasal yang menjadi perdebatan diantaranya mengenai keberadaan Dewan Pengawas KPK, Permohonan izin pimpinan KPK apabila akan melakukan penyadapan kepada Dewan Pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3), dan penuntutan serta pembatasan KPK untuk mengangatkan penyidik independen serta tidak menutup kemungkinan masih terdapat lagi poin-poin yang dapat melemahkan KPK.

Tidak dapat kita pungkiri, polemik revisi UU KPK telah menyita perhatian masyarakat dan menjadi kegaduhan politik. Padahal revisi suatu UU merupakan hal yang lumrah dalam kerja-kerja legislatif dalam negara demokrasi. Dimana masing-masing lembaga bekerja dan memiliki kewenangannya masing-masing dan hal tersebut telah diamanahkan dalam undang-undang.

Rawls (1997), mengungkapkan salah satu pilar paling mendasar dari sistem demokrasi adalah ‘an idea of public reason‘ dan Imam Nasima (2007) mengistilahkannya dengan “konsep penerimaan publik”. Dalam konteks revisi UU KPK yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah, publik menilai tidak ada keberpihakan kepada mereka, secara akal sehat pasal-pasal yang terdapat dalam draf revisi UU KPK mengakomodir kepentingan penguasa agar tidak “diawasi” oleh KPK.

Sudut pandang pemerintah dan DPR justru berbeda, Ketua DPR RI, Ade Komarudin mengatakan polemik pro-kontra revisi UU KPK disebabkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai poin-poin yang selama ini menjadi perdebatan sehingga masih terjadi kesalahpahaman.

Penyusunan suatu perundang-undangan diperlukan kajian dan naskah akademik sebagai bentuk partisipasi masyarakat guna terbentuknya good governance. Elemen bangsa termasuk rakyatnya dilibatkan dalam mengawasi produk hukum yang dibuat DPR. Melalui partisipasi publik baik oleh masyarakat, praktisi dan akademisi dalam menyampaikan masukan dan kontrol dalam setiap proses pembuatan undang-undang dapat mempengaruhi kualitas produk hukum yang dihasilkan, serta diharapkan terciptanya good governance dan clear goverment. Jadi, penundaan revisi UU KPK hanya akan menyimpan bom waktu.  

Sejatinya subtansi dari kegaduhan yang ada terletak pada lemahnya kajian akademis atau justru malah tidak sama sekali melakukan kajian akademis dan lebih kepada "kajian politis". Jika benar demikan, revisi UU KPK berdasarkan kajian politis dengan maksud tertentu untuk mengikat sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi. Kegaduhan-kegaduhan tidak akan pernah berhenti dan imbasnya pembahasan revisi UU KPK tidak akan mendapatkan hasil. Lagi-lagi, energi bangsa dan masyarakat akan terus tersedot dalam kegaduhan politik para penguasa.

UU KPK bukan kitab suci yang tabu dan bukan suatu hal yang sempurna. UU sebuah produk yang diciptakan oleh manusia yang pasti memiliki kelemahan dan kekurangan. Penundaan pembahasan revisi UU KPK hanya akan menjadi bom waktu. Pemerintah dan DPR akan terus dihadapkan pada 2 pilihan, apakah lanjut direvisi atau tidak sama sekali? Dan segenap elemen masyarakat tidak akan pernah lelah untuk mengawal "akal sehat" para wakil dan pemimpinnya.

*Penulis adalah senator dari Nusa Tenggara Barat.

TAG BERITA

Comment